Terima Kasih Tuhan, Jakarta Kembali ke Pribumi
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 18 Oktober 2022 17:00 WIB
"Semua pejabat negara dan kita warga bangsa, hindari pakai istilah pribumi, itu UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis," ujar Sumarsono, Selasa (17/10/2017). Dalam hal ini, Anies Baswedan mengabaikannya.
MENATA KATA adalah kepiawaian Anies Baswedan selama mengelola Jakarta, Oktober 2017-Oktober 2022. Dia sangat populer dengan predikat ini.
Tak ada gagasan orisinal ( “genuine” ) dan monumental dari peninggalannya, yang layak dibanggakan - selain mengubah bermacam istilah dan mangacaukannya.
Baca Juga: Bharada E di Persidangan, Ikuti Perintah Ferdy Sambo untuk Mengisi Peluru dan Mengokang Senjata
Misalnya, mengganti “rumah sakit” menjadi “rumah sehat”, “menggusur” menjadi “menggeser”, “rumah susun” menjadi “rumah lapis”, “normalisasi sungai" menjadi “naturalisasi”, “hari ulang tahun” (HUT) menjadi “hajatan” dan banyak lagi.
Dia juga mengganti nama jalan, yang mengacaukan administrasi kelurahan, merepotkan petugas pos dan ekspedisi – dan banyak lagi.
Dia menjadikan taman sebagai “parkir air” dan menolak pipa untuk mengirim banjir ke laut, karena sesuai “Sunatullah” air masuk ke bumi, bukan ke laut. Terakhir menyebut, hujan deras yang mengakibatkan banjir di ibukota karena “air turun bersamaan”.
Selain sengaja menegaskan kehadirannya sebagai pihak “pribumi”, dia menyebut “Fir'aun” dan “benda mati” untuk berkonfrontasi dengan gelora pembangunan infrastruktur Jokowi. “Kalau sekedar membangun kota megah, Firaun juga bisa” katanya.
Baca Juga: Berbeda dengan Ferdy Sambo, Richard Eliezer Tak Ajukan Eksepsi
Nyatanya yang dia pamerkan sebagai keberhasilan lima tahun kepemimpinannya di ibukota adalah infrastruktur – nota bene “barang mati” sebagai lawan bagi sebutan gagasan, pembanguna manusia, akhlak, yang dibanggakannya .