DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Dari Serakah-Nomic Menuju Indonesia Incorporated

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Mendengar istilah Serakah-nomics dari Prabowo, saya teringat potret rakyat antre panjang untuk beli minyak goreng.

Pagi itu, Minggu, 6 Maret 2022. Langit Pesanggrahan, Jakarta Selatan, masih diliputi kabut tipis, udara subuh yang sejuk menusuk kulit. 

Di trotoar sempit di depan Polsek Pesanggrahan, deretan manusia telah membentuk barisan panjang, mengular hingga jauh ke tikungan jalan. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Minyak, Bisnis, dan Politik di Era Artificial Intelligence

Wajah-wajah itu—mayoritas ibu-ibu—terselubung masker. Namun sorot mata mereka menyimpan cerita yang sama: harapan mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Jam belum menunjukkan pukul enam pagi, petugas dan truk distributor belum tiba. Namun sejak pukul 05.00, mereka sudah berdiri, menggenggam kantong belanja, beberapa membawa kursi lipat kecil. 

Ada yang menenteng termos kopi, ada yang sesekali merapatkan jaket, mencoba menghalau dingin. Sesekali, tawa kecil terdengar, tapi cepat tenggelam dalam hening yang kental oleh kecemasan:

Baca Juga: Catatan Denny JA: Awal Kemajuan China dan Revolusi Damai Deng Xiaoping

Bagaimana  jika stok minyak goreng habis sebelum nomor mereka dipanggil?

Hari itu adalah hari terakhir operasi pasar minyak goreng. Begitu nomor antrean dibagikan sekitar pukul 05.30–05.40 WIB, barisan pun perlahan bubar. 

Mereka kembali ke rumah, menunggu giliran datang lagi pukul 08.00–13.00 WIB untuk menukar nomor itu dengan dua liter minyak yang akan menghidupkan dapur beberapa hari ke depan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Make Pertamina Great Again

Di balik antrean singkat di Pesanggrahan ini, terhampar potret getir negeri yang kaya sawit namun membuat rakyatnya berjaga di subuh hari demi setetes minyak di wajan mereka.

Halaman:

Berita Terkait