DECEMBER 9, 2022
Kolom

Estetika Sinisme di Layar TV Kita

image
Ilustrasi - Rocky Gerung (Foto: Istimewa)

Oleh Supriyanto Martosuwito*

ORBITINDONESIA.COM - Ada semacam kecenderungan baru dalam lanskap intelektual dan media audio visual di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Di tengah kelelahan kolektif terhadap janji-janji perubahan, muncul tokoh-tokoh yang menawan dalam pikiran, cemerlang dalam retorika, dan memukau di layar teve dan terkirim ke ponsel yang ada di genggaman.

Mereka adalah orang-orang cerdas, berani, dan seringkali dianggap mewakili suara “kita”—rakyat yang resah, mahasiswa yang frustrasi, publik yang skeptis.

Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Orde Baru Membantai Muslim

Tapi entah sejak kapan, suara mereka mulai terdengar seperti gema dari ruang yang tak lagi percaya pada apa pun. Suara-suara yang keras, tapi dingin. Tajam, tapi kering.

Rocky Gerung, misalnya, selalu hadir dengan diksi yang mencolok, seperti kata "moralitas" - “akal sehat” yang ia pasang sebagai pagar konsep atas semua argumen. Ia menawarkan kritik tanpa kompromi terhadap kekuasaan, seringkali dalam bentuk pernyataan yang lebih cocok sebagai provokasi ketimbang diskusi. Enteng mengucap kata "dungu" terhadap yang dia tak sukai.

Di forum temu wicara dan ruang diskusi kampus, dia dielu-elukan seperti filsuf yang membongkar kepalsuan republik. Tapi lama-lama, yang tersisa bukan kesadaran kritis, melainkan residu kecurigaan tanpa dasar. Ia bicara tentang negara seolah semuanya palsu, politik sebagai panggung penipuan, dan demokrasi sebagai sandiwara panjang yang menipu semua orang kecuali dirinya.

Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Pendakwah Arab dan Yaman, Pulanglah

Lalu ada Najwa Shihab, jurnalis cemerlang, simbol perempuan kuat di dunia media. Wawancaranya tajam, panggungnya megah, misinya seolah mulia: membela publik dari kelalaian negara. Tapi perlahan, acara dan sosoknya bergeser dari ruang tanya menjadi ruang dakwa. Ia tidak sekadar mengulik, tapi menguliti. Ia bukan hanya menggugat, tapi seolah sudah punya vonis sebelum tamu bicara. Merangkap kerja sebagai pewawancara, jaksa dan hakim sekaligus.

Ketika acara tanya jawab menjadi ruang interogasi, publik bertepuk tangan—bukan karena tercerahkan, tapi karena terhibur. Ironisnya, penonton tak sadar bahwa mereka sedang dicekoki semacam skeptisisme masif: bahwa semua pejabat pasti culas, semua lembaga pasti mandul, dan semua optimisme politik adalah omong kosong.

Aiman Witjaksono, dengan gaya dramatis dan nada vokal yang teatrikal, memperkuat aura sinis itu. Ia menghadirkan berita bukan hanya sebagai informasi, tapi sebagai narasi kecurigaan. Kata “mengapa” dan “siapa dalangnya” menjadi kalimat pembuka yang menciptakan ruang gema penuh spekulasi.

Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: NGO dan Wartawan Sebagai Pasukan Perang Modern

Dalam format jurnalistik, ini adalah pelanggaran halus: menyamar sebagai investigasi, ajang konfirmasi, padahal yang dipancing adalah emosi. Dalam masyarakat yang mudah percaya, gaya seperti ini tidak hanya membingungkan, tapi bisa menggiring opini massal menuju kegelapan.

Rosiana Silalahi pun tidak lepas dari kecenderungan ini. Dikenal sebagai jurnalis senior yang berwibawa, Rosi memandu forum debat dengan gestur intelektual kritis. Tapi siaran-siarannya belakangan ini lebih banyak memelihara adrenalin konflik ketimbang mengurai substansi. Ia menjadi wasit dalam debat yang dibangun untuk kehebohan, bukan kejelasan.

Kata-kata dan penjelasan narasumber dipotong sesuka hati, argumen dipercepat, semua diarahkan menuju klimaks yang memuaskan emosi penonton. Tapi tidak menyelesaikan apa-apa.

Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Reklamasi di Berbagai Negeri, Indonesia Bukan Satu-satunya

TONTONAN yang kita saksikan di layar kaca dan petikan klipnya di sosial media, bukan semata-mata kecerdasan, melainkan estetika sinisme. Kita memuja orang-orang yang berkata tajam, tapi lupa bertanya: ke mana arah semua ini dibawa?

Generasi muda—yang sedang tumbuh dalam era patah hati politik dan krisis kepercayaan—menjadi audiens paling rentan. Mereka mengutip Rocky seolah ia Socrates, mengidolakan Najwa seolah ia Dewi Keadilan, menyimak Aiman seolah semua keburukan negara bisa diringkus dalam satu siaran. Padahal, dari semua itu, yang lahir bukan daya kritis, melainkan rasa curiga permanen terhadap segalanya.

Psikologi menyebutnya “toxic skepticism” ; skeptisisme yang tidak melahirkan pencerahan, melainkan kelelahan batin. Kita tidak lagi mencari kebenaran, hanya pembenaran atas kemuakan. Kita tidak lagi ingin membangun, hanya ingin membongkar.

Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Karena Kita Suka Drama Bukan Fakta

Tentu, kita semua tidak anti kritik. Kita perlu Rocky yang melawan. Kita perlu Najwa yang bertanya. Kita perlu Aiman yang menggali. Tapi kita juga perlu jeda ; untuk melihat apakah semua energi kritis itu masih menuju harapan, atau hanya mengabarkan bahwa harapan sudah mati.

Di negeri yang rapuh oleh kekuasaan yang sering mengecewakan, para intelektual dan jurnalis seharusnya menjadi obor, bukan hanya cermin retak. Menjadi pendorong harapan, bukan hanya peramal kegelapan.

Suatu hari nanti, ketika publik mulai jenuh dengan suara-suara yang hanya bisa mencemooh, barangkali mereka akan mencari sesuatu yang lebih langka: suara yang cerdas, tapi juga jernih. Tajam, tapi juga membangun.

Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Buku Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS Penuh Cerita yang Menarik

Dan saat itu tiba, retorika sinis tak lagi memukau. Yang memikat adalah keberanian untuk percaya—meski sedikit, meski sendiri. 

*Supriyanto Martosuwito adalah wartawan senior.***

Halaman:

Berita Terkait