
Rosiana Silalahi pun tidak lepas dari kecenderungan ini. Dikenal sebagai jurnalis senior yang berwibawa, Rosi memandu forum debat dengan gestur intelektual kritis. Tapi siaran-siarannya belakangan ini lebih banyak memelihara adrenalin konflik ketimbang mengurai substansi. Ia menjadi wasit dalam debat yang dibangun untuk kehebohan, bukan kejelasan.
Kata-kata dan penjelasan narasumber dipotong sesuka hati, argumen dipercepat, semua diarahkan menuju klimaks yang memuaskan emosi penonton. Tapi tidak menyelesaikan apa-apa.
TONTONAN yang kita saksikan di layar kaca dan petikan klipnya di sosial media, bukan semata-mata kecerdasan, melainkan estetika sinisme. Kita memuja orang-orang yang berkata tajam, tapi lupa bertanya: ke mana arah semua ini dibawa?
Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Orde Baru Membantai Muslim
Generasi muda—yang sedang tumbuh dalam era patah hati politik dan krisis kepercayaan—menjadi audiens paling rentan. Mereka mengutip Rocky seolah ia Socrates, mengidolakan Najwa seolah ia Dewi Keadilan, menyimak Aiman seolah semua keburukan negara bisa diringkus dalam satu siaran. Padahal, dari semua itu, yang lahir bukan daya kritis, melainkan rasa curiga permanen terhadap segalanya.
Psikologi menyebutnya “toxic skepticism” ; skeptisisme yang tidak melahirkan pencerahan, melainkan kelelahan batin. Kita tidak lagi mencari kebenaran, hanya pembenaran atas kemuakan. Kita tidak lagi ingin membangun, hanya ingin membongkar.
Tentu, kita semua tidak anti kritik. Kita perlu Rocky yang melawan. Kita perlu Najwa yang bertanya. Kita perlu Aiman yang menggali. Tapi kita juga perlu jeda ; untuk melihat apakah semua energi kritis itu masih menuju harapan, atau hanya mengabarkan bahwa harapan sudah mati.
Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Pendakwah Arab dan Yaman, Pulanglah
Di negeri yang rapuh oleh kekuasaan yang sering mengecewakan, para intelektual dan jurnalis seharusnya menjadi obor, bukan hanya cermin retak. Menjadi pendorong harapan, bukan hanya peramal kegelapan.
Suatu hari nanti, ketika publik mulai jenuh dengan suara-suara yang hanya bisa mencemooh, barangkali mereka akan mencari sesuatu yang lebih langka: suara yang cerdas, tapi juga jernih. Tajam, tapi juga membangun.
Dan saat itu tiba, retorika sinis tak lagi memukau. Yang memikat adalah keberanian untuk percaya—meski sedikit, meski sendiri.
Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: NGO dan Wartawan Sebagai Pasukan Perang Modern
*Supriyanto Martosuwito adalah wartawan senior.***