
Oleh Supriyanto Martosuwito*
ORBITINDONESIA.COM - Ada semacam kecenderungan baru dalam lanskap intelektual dan media audio visual di Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Di tengah kelelahan kolektif terhadap janji-janji perubahan, muncul tokoh-tokoh yang menawan dalam pikiran, cemerlang dalam retorika, dan memukau di layar teve dan terkirim ke ponsel yang ada di genggaman.
Mereka adalah orang-orang cerdas, berani, dan seringkali dianggap mewakili suara “kita”—rakyat yang resah, mahasiswa yang frustrasi, publik yang skeptis.
Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Orde Baru Membantai Muslim
Tapi entah sejak kapan, suara mereka mulai terdengar seperti gema dari ruang yang tak lagi percaya pada apa pun. Suara-suara yang keras, tapi dingin. Tajam, tapi kering.
Rocky Gerung, misalnya, selalu hadir dengan diksi yang mencolok, seperti kata "moralitas" - “akal sehat” yang ia pasang sebagai pagar konsep atas semua argumen. Ia menawarkan kritik tanpa kompromi terhadap kekuasaan, seringkali dalam bentuk pernyataan yang lebih cocok sebagai provokasi ketimbang diskusi. Enteng mengucap kata "dungu" terhadap yang dia tak sukai.
Di forum temu wicara dan ruang diskusi kampus, dia dielu-elukan seperti filsuf yang membongkar kepalsuan republik. Tapi lama-lama, yang tersisa bukan kesadaran kritis, melainkan residu kecurigaan tanpa dasar. Ia bicara tentang negara seolah semuanya palsu, politik sebagai panggung penipuan, dan demokrasi sebagai sandiwara panjang yang menipu semua orang kecuali dirinya.
Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: Pendakwah Arab dan Yaman, Pulanglah
Lalu ada Najwa Shihab, jurnalis cemerlang, simbol perempuan kuat di dunia media. Wawancaranya tajam, panggungnya megah, misinya seolah mulia: membela publik dari kelalaian negara. Tapi perlahan, acara dan sosoknya bergeser dari ruang tanya menjadi ruang dakwa. Ia tidak sekadar mengulik, tapi menguliti. Ia bukan hanya menggugat, tapi seolah sudah punya vonis sebelum tamu bicara. Merangkap kerja sebagai pewawancara, jaksa dan hakim sekaligus.
Ketika acara tanya jawab menjadi ruang interogasi, publik bertepuk tangan—bukan karena tercerahkan, tapi karena terhibur. Ironisnya, penonton tak sadar bahwa mereka sedang dicekoki semacam skeptisisme masif: bahwa semua pejabat pasti culas, semua lembaga pasti mandul, dan semua optimisme politik adalah omong kosong.
Aiman Witjaksono, dengan gaya dramatis dan nada vokal yang teatrikal, memperkuat aura sinis itu. Ia menghadirkan berita bukan hanya sebagai informasi, tapi sebagai narasi kecurigaan. Kata “mengapa” dan “siapa dalangnya” menjadi kalimat pembuka yang menciptakan ruang gema penuh spekulasi.
Baca Juga: Supriyanto Martosuwito: NGO dan Wartawan Sebagai Pasukan Perang Modern
Dalam format jurnalistik, ini adalah pelanggaran halus: menyamar sebagai investigasi, ajang konfirmasi, padahal yang dipancing adalah emosi. Dalam masyarakat yang mudah percaya, gaya seperti ini tidak hanya membingungkan, tapi bisa menggiring opini massal menuju kegelapan.