DECEMBER 9, 2022
Buku

Buku "Membela Kebebasan Beragama", Ikhtiar Intelektual untuk Kemanusiaan

image

ORBITINDONESIA.COM - Ketika agama sering kali dikaburkan oleh hasrat kekuasaan dan mayoritarianisme, Budhy Munawar Rachman hadir dengan buku Membela Kebebasan Beragama sebagai suluh moral di tengah kabut gelap intoleransi.

Buku ini bukan sekadar catatan akademik, tapi merupakan ikhtiar intelektual dan spiritual untuk mengembalikan agama ke pangkuan kemanusiaan.

Budhy merangkum berbagai tulisan dan intervensi pemikirannya selama dua dekade terakhir, yang secara konsisten membela hak-hak kelompok minoritas agama, memperjuangkan pluralisme, dan mengangkat pentingnya kebebasan berpikir di tengah gempuran konservatisme.

Baca Juga: Buku “Fihi Ma Fihi”: Menyelami Kedalaman Jiwa bersama Rumi

Ia tidak hanya berteori, tapi berani menyuarakan pembelaan terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan seperti Ahmadiyah, Syiah, penghayat kepercayaan, hingga kelompok non-teistik, yang selama ini sering dianggap “di luar pagar” agama resmi.

Salah satu inti dari buku ini adalah pembacaan ulang terhadap ajaran Islam melalui lensa konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Budhy secara lugas menunjukkan bahwa prinsip-prinsip seperti “tidak ada paksaan dalam agama” (QS. 2:256) bukanlah doktrin opsional, tetapi merupakan basis moral Islam yang sejati—yang justru diperkuat oleh nilai-nilai konstitusi Indonesia.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Darah Negara Minyak

Ia mengkritik keras tafsir keagamaan yang memonopoli kebenaran dan menggerogoti ruang kebebasan beragama dengan dalih menjaga kemurnian akidah.

Yang menjadikan buku ini sangat penting adalah keberanian Budhy untuk menyambungkan warisan pemikiran Islam klasik dengan Islam progresif kontemporer.

Ia merujuk pada para pemikir besar seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi, hingga Fazlur Rahman untuk membangun sebuah teologi pembebasan dalam Islam Indonesia.

Baca Juga: Denny JA Merekam Luka Sejarah Dalam Tujuh Buku Puisi Esai

Dalam konteks ini, agama tidak diposisikan sebagai institusi kontrol, tetapi sebagai alat emansipasi: membebaskan manusia dari belenggu struktural dan kultural.

Bagian paling menyentuh dari buku ini adalah saat Budhy menyatakan bahwa membela kebebasan beragama bukan hanya urusan legal atau politis, tetapi tindakan spiritual yang mendalam.

Ia mengajak pembaca untuk tidak sekadar bersikap toleran, tapi juga aktif memanusiakan mereka yang berbeda.

Di sinilah letak daya spiritual buku ini—ia menumbuhkan empati dan kesadaran sosial yang kritis sekaligus lembut.

Meski demikian, buku ini bukan bacaan ringan. Diksi yang cenderung akademis dan struktur argumen yang padat menuntut fokus dan kepekaan dari pembaca.

Namun, justru dari kedalaman itulah nilai buku ini terasa kuat—sebagai pendidikan kewarganegaraan spiritual yang sangat dibutuhkan di zaman polarisasi agama.

Membela Kebebasan Beragama adalah bacaan wajib bagi mereka yang peduli pada masa depan demokrasi, relasi antarumat beragama, dan wajah Islam yang lebih ramah terhadap kemajemukan.

Bagi aktivis muda, akademisi, maupun warga biasa yang gelisah terhadap arah keberagaman di negeri ini, buku ini adalah pengingat bahwa keberanian berpihak pada yang tertindas adalah bentuk iman yang paling nyata.***

Halaman:

Berita Terkait