Supriyanto Martosuwito: Karena Kita Suka Drama Bukan Fakta
- Penulis : Abriyanto
- Rabu, 02 Juli 2025 14:45 WIB

Jadi jangan salahkan rakyat biasa kalau mereka lebih suka konten provokatif. Salahkan algoritma yang dengan setia menyajikan konten penuh amarah setiap kali Anda membuka ponsel. Facebook, TikTok, X, semuanya tahu: emosi negatif menyebar 6 kali lebih cepat dibanding informasi netral.
Ini bukan teori konspirasi, ini data riset dari Center for Humane Technology.
Narasi kebencian bukanlah “kecelakaan digital”. Ia adalah produk unggulan algoritma. Konten Anda yang penuh data, kutipan ilmiah, dan referensi akademik? Maaf, itu hanya akan dikubur di bawah video seseorang yang teriak, "Dasar penjilat asing!"
Baca Juga: AJI, IJTI dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi bagi Jurnalis
Hal yang menyedihkan, masyarakat terbelah dalam tribalisme modern di antara ‘kita’ dan ’mereka’: Kita hidup dalam zaman kesukuan (tribal) versi modern. Kita muslim, mereka non muslim. Kita pribumi, mereka nonpribumi. Kita NKRI, mereka antek asing.
Dulu suku-suku melawan suku demi lahan. Sekarang grup WhatsApp melawan grup Telegram demi opini. Dunia disederhanakan jadi dua: “kita yang paling benar” dan “mereka yang pasti salah”.
Narasi kebencian memanfaatkan ini dengan sangat cerdik. Ia memberi Anda identitas, sekaligus musuh. Dan orang butuh musuh untuk merasa hidup. Apalagi kalau musuh itu bisa Anda hina dari kenyamanan sofa, sambil menyeruput kopi sachet. Demokrasi digital, katanya.
Lalu apa kabar fakta dan data? Sayangnya, ia tidak memihak siapa-siapa. Data sering menyodorkan kebenaran yang menyakitkan: kadang kelompok kita juga salah. Kadang kita pun bagian dari masalah. Dan siapa yang suka diberitahu bahwa ia salah?
*Supriyanto Martosuwito adalah wartawan senior dan pengamat budaya. ***