DECEMBER 9, 2022
Kolom

Supriyanto Martosuwito: Karena Kita Suka Drama Bukan Fakta

image
Ilustrasi - Para jurnalis sedang bertugas (Foto: ANTARA)

Ironis, bukan? Tapi begitulah “kenyamanan kognitif” bekerja. Kita lebih suka jawaban sederhana - meski salah, daripada kebenaran yang rumit dan membuat tidak nyaman.

Sementara angka statistik butuh waktu untuk dipahami, emosi marah atau jijik bisa menyebar dalam hitungan detik. Bayangkan, Anda membuka Twitter (atau X, apalah itu namanya sekarang), dan melihat utas panjang tentang ketimpangan ekonomi. Menarik? Tidak. Tapi begitu ada akun yang menyebut "Kita miskin karena pejabat dan konglomerat serakah!" — boom! Ribuan likes, retweet, dan komentar datang bak banjir bandang.

Welcome to the jungle, saudara-saudara.

Baca Juga: AJI, IJTI dan PFI Menolak Program Rumah Bersubsidi bagi Jurnalis

Ya! Kita lebih menyukai drama, bukan data. Narasi kebencian itu seperti sinetron: penuh konflik, musuh jelas, memancing emosinya untuk meledak. Cocok sekali untuk publik digital yang terlalu sibuk untuk berpikir, tapi selalu punya waktu untuk merasa tersinggung. Marah. Naik darah. Murka

Coba bandingkan di antara data fakta “Distribusi kekayaan di Indonesia timpang, 1 persen orang menguasai 45 persen aset.” dengan narasi kebencian: “Kita dijajah lagi, tapi kali ini oleh sesama anak bangsa yang rakus!”

Mana yang lebih Anda baca sampai habis?

Baca Juga: Perkara yang Jerat Direktur Pemberitaan JAKTV Nonaktif Tian Bahtiar Jadi Tersangka tidak Berkait Produk Jurnalistik

Ini bukan hanya soal edukasi atau literasi, ini tentang preferensi dasar manusia terhadap cerita. Sejak ribuan tahun lalu, manusia lebih suka dongeng ketimbang perhitungan.

Yuval Noah Harari menyebutnya “imagined reality”—realitas khayalan yang mengikat kelompok lewat mitos, cerita, dan musuh bersama.

Dalam konteks media sosial, kita hanya mengganti dongeng suku primitif dengan video 60 detik penuh caci maki.

Baca Juga: Oditurat Militer Banjarmasin: Oknum TNI AL Jalin Dua Hubungan Asmara Sebelum Bunuh Jurnalis Juwita

KETAHUILAH, ternyata algoritma mencintai kebencian. Platform-platform digital tidak dirancang untuk menyebarkan kebenaran. Mereka diciptakan untuk memperdagangkan atensi. Dan tahukah Anda apa yang paling memikat atensi? Konflik. Drama. Kebencian.

Halaman:

Berita Terkait