DECEMBER 9, 2022
Kolom

Berguru Kepada KOMPAS, Pendiri dan Jurnalisnya

image
Buku-buku terkait KOMPAS (Foto: Supriyanto Martosuwito)

Oleh Supriyanto Martosuwito*

ORBITINDONESIA.COM - Bagi para wartawan angkatan saya,era 1980 - 2020 - nampaknya juga wartawan sebelum dan sesudah generasi saya - surat kabar harian ‘Kompas’ adalah sekolah menulis yang tak pernah berhenti mengajar. Setiap halamannya adalah contoh bagaimana bahasa jurnalistik bisa elegan tanpa kehilangan ketajaman. ‘Kompas’ adalah majalah harian, seorang teman saya menyatakan. Berita yang ditulis mengandung kedalaman - selain kelengkapan.

Di halaman empat, khususnya, rubrik opini, analisis, dan esai mengajarkan cara menyusun argumen yang runtut, berbasis data, namun tetap menggugah. Tokoh-tokoh seperti Jakob Oetama, Rosihan Anwar, MAW Brouwer, H Mahbub Junaedi, Umar Kayam, Jacob Soemardjo, Parakriti Simbolon, mewariskan tradisi menulis yang tak hanya informatif, tetapi juga reflektif.

Baca Juga: Survei Litbang Kompas: Prabowo-Gibran Bertengger di Puncak dengan Elektabilitas 39,3 Persen, Pilpres Bisa 2 Putaran

Di era ketika media sosial membanjiri kita dengan tulisan-tulisan pendek yang seringkali dangkal, ‘Kompas’ mengingatkan kita bahwa menulis adalah kerja intelektual. Setiap berita, laporan investigasi, atau tajuk rencana di koran ini adalah pengingat bahwa kata-kata memiliki bobot, dan setiap kalimat harus dipertanggungjawabkan.

Sejak terbit pertama kali pada 28 Juni 1965, ‘Kompas’ tak hanya memberitakan peristiwa, tetapi juga membentuk cara berpikir, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dan menjaga marwah jurnalisme di tengah gempuran media baru yang mengutamakan kecepatan.

Di usia 22 tahun, tulisan saya berhasil menembus Kompas. Lalu, dari tulisan pertama berlanjut ke tulisan berikutnya. Namun semakin lama semakin sulit saja. Dan setelah bergabung ke media ibukota, saya fokus menulis di media ‘sendiri” sembari terus membandingkan dengan karya karya jurnalistik di 'Kompas', sebagai panduan dan rujukan.

Baca Juga: Pilkada Jakarta, Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Anies dan Ahok Bersaing, Kaesang Hanya 1,0 Persen Saja

Di usia yang ke-60 ini, ‘Kompas’ tetap tegak sebagai mercusuar yang menawarkan kelengkapan, kedalaman, dan keseimbangan; tiga pilar yang justru semakin langka di era banjir informasi.

KOMPAS bukan sekadar media—ia adalah cermin Indonesia yang majemuk. Dalam liputannya, koran ini selalu menekankan pentingnya persatuan di tengah perbedaan. Ketika isu SARA mengoyak bangsa, Kompas kerap menjadi penyeimbang, menolak narasi kebencian dan mengedepankan dialog.

Sikap ini bukan tanpa risiko. Di era Orde Baru, Kompas sempat dibredel karena dianggap terlalu kritis. Namun, justru di saat-saat seperti itulah integritasnya teruji. Koran ini tak pernah terjebak menjadi corong kekuasaan atau kepentingan sempit. Prinsip "Amanat Hati Nurani Rakyat" yang dipegang sejak awal bukan sekadar slogan, melainkan komitmen yang dijalankan dengan konsisten.

Baca Juga: Mantan Wartawan Kompas, Agus Hermawan Terbitkan Buku "Enggak Lari, Enggak Keren”

PARA WARTAWAN Kompas adalah teladan dan guru saya. Mereka tak hanya mencari berita, tetapi juga menelusuri setiap cerita hingga ke akarnya. Saya masih ingat laporan-laporan mendalam seperti investigasi korupsi, liputan kemanusiaan dari daerah konflik, atau kisah-kisah inspiratif tentang orang biasa yang melakukan hal luar biasa.

Toni Widiastono guru saya dalam liputan di Kementerian Pendidikan, Tri Sabdono (Bre Redana) dan FX Mulyadi guru saya di liputan kebudayaan, Kris JB guru saya menulis film, Rudy Badil guru saya dalam penulisan features. Sindhunata guru saya dalam menulis esai sastrawi. Evi Fajari menulis yang lincah dan enak dibaca. Dan banyak lagi.

Sedangkan Pak Jacob Oetama dan PK Ojong adalah mahaguru dan ‘rektor’nya - dengan filofosi dan teladan serta kebajikannya.

Baca Juga: Pilkada Jakarta 2024, Survei Litbang Kompas: Elektabilitas Pramono-Rano Tertinggi, Ungguli Ridwan Kamil-Suswono

Jurnalisme adalah panggilan. Para wartawan kawakan mengajarkan bahwa menjadi jurnalis bukan sekadar profesi, melainkan tugas mulia untuk menyuarakan kebenaran.

Ketika media lain berlomba memublikasikan informasi mentah, Kompas memastikan setiap berita yang keluar telah melalui proses kurasi yang matang. Ini bukan berarti koran ini lambat—ia justru membuktikan bahwa di tengah arus deras informasi, yang dibutuhkan pembaca adalah kedalaman, bukan sekadar kecepatan.

Di era digital ini, banyak media tergoda untuk mengutamakan kecepatan. Clickbait, judul sensasional, dan berita separuh fakta menjadi makanan sehari-hari. Tapi Kompas memilih jalan berbeda. Ia tetap bertahan dengan jurnalisme yang mendalam, verifikasi ketat, dan keseimbangan berita.

Baca Juga: Wartawan Kompas.com Laporkan Tindakan Kekerasan Saat Liputan Demonstrasi di Gedung DPRD, Bandung

Enam puluh tahun bukan sekadar angka. Dalam rentang waktu itu, Kompas telah menjelma lebih dari sekadar koran harian—ia menjadi penuntun, guru, dan saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia.

Saya adalah kolektor buku Kompas, pembaca kumpulan tulisan para jurnalis seniornya, yang tak sekadar menyajikan bacaan dan renungan melainkan juga panduan menulis opini yang berkualitas.

TANTANGAN ‘Kompas’ ke depan tidak kecil. Generasi muda lebih akrab dengan media sosial, sementara minat baca koran cetak terus menurun. Namun, selama Kompas tetap memegang prinsip jurnalisme berkualitas—mengutamakan akurasi, kedalaman, dan etika—ia akan tetap dibutuhkan.

Baca Juga: Buku “Kesaksian 23 Wartawan KOMPAS” Diharapkan Rampung Cetak Juni 2025

Keberhasilan Kompas dalam mengembangkan platform digital seperti Kompas.com dan Kompas.id menunjukkan bahwa koran ini tak menolak perubahan, tetapi berusaha memadukan tradisi jurnalisme lama dengan kemajuan baru.

Enam puluh tahun bukan waktu yang singkat. Kompas telah melewati berbagai zaman: dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga era digital. Sepanjang perjalanannya, ia tetap setia pada misi mencerdaskan bangsa.

Sebagai pembaca, saya berterima kasih. Terima kasih karena Kompas tak sekadar memberitakan, tetapi juga mendidik. Terima kasih karena tetap menjadi suara yang independen di tengah hiruk-pikuk kepentingan. Dan terima kasih karena, dalam setiap lembarannya, kita masih bisa menemukan harapan bahwa jurnalisme yang bermartabat belum mati.

Baca Juga: Pepih Nugraha tentang Peluncuran Buku "Kesaksian 23 Wartawan Kompas"

Selamat ulang tahun, 'Kompas'. Teruslah menjadi kompas yang menuntun bangsa ini ke arah yang lebih baik.

*Supriyanto Martosuwito adalah jurnalis senior, banyak menulis tentang budaya. ***

Halaman:

Berita Terkait