Berguru Kepada KOMPAS, Pendiri dan Jurnalisnya
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 30 Juni 2025 04:00 WIB

Toni Widiastono guru saya dalam liputan di Kementerian Pendidikan, Tri Sabdono (Bre Redana) dan FX Mulyadi guru saya di liputan kebudayaan, Kris JB guru saya menulis film, Rudy Badil guru saya dalam penulisan features. Sindhunata guru saya dalam menulis esai sastrawi. Evi Fajari menulis yang lincah dan enak dibaca. Dan banyak lagi.
Sedangkan Pak Jacob Oetama dan PK Ojong adalah mahaguru dan ‘rektor’nya - dengan filofosi dan teladan serta kebajikannya.
Jurnalisme adalah panggilan. Para wartawan kawakan mengajarkan bahwa menjadi jurnalis bukan sekadar profesi, melainkan tugas mulia untuk menyuarakan kebenaran.
Ketika media lain berlomba memublikasikan informasi mentah, Kompas memastikan setiap berita yang keluar telah melalui proses kurasi yang matang. Ini bukan berarti koran ini lambat—ia justru membuktikan bahwa di tengah arus deras informasi, yang dibutuhkan pembaca adalah kedalaman, bukan sekadar kecepatan.
Di era digital ini, banyak media tergoda untuk mengutamakan kecepatan. Clickbait, judul sensasional, dan berita separuh fakta menjadi makanan sehari-hari. Tapi Kompas memilih jalan berbeda. Ia tetap bertahan dengan jurnalisme yang mendalam, verifikasi ketat, dan keseimbangan berita.
Enam puluh tahun bukan sekadar angka. Dalam rentang waktu itu, Kompas telah menjelma lebih dari sekadar koran harian—ia menjadi penuntun, guru, dan saksi bisu perjalanan bangsa Indonesia.
Saya adalah kolektor buku Kompas, pembaca kumpulan tulisan para jurnalis seniornya, yang tak sekadar menyajikan bacaan dan renungan melainkan juga panduan menulis opini yang berkualitas.
TANTANGAN ‘Kompas’ ke depan tidak kecil. Generasi muda lebih akrab dengan media sosial, sementara minat baca koran cetak terus menurun. Namun, selama Kompas tetap memegang prinsip jurnalisme berkualitas—mengutamakan akurasi, kedalaman, dan etika—ia akan tetap dibutuhkan.
Keberhasilan Kompas dalam mengembangkan platform digital seperti Kompas.com dan Kompas.id menunjukkan bahwa koran ini tak menolak perubahan, tetapi berusaha memadukan tradisi jurnalisme lama dengan kemajuan baru.
Baca Juga: Mantan Wartawan Kompas, Agus Hermawan Terbitkan Buku "Enggak Lari, Enggak Keren”
Enam puluh tahun bukan waktu yang singkat. Kompas telah melewati berbagai zaman: dari Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, hingga era digital. Sepanjang perjalanannya, ia tetap setia pada misi mencerdaskan bangsa.