Berguru Kepada KOMPAS, Pendiri dan Jurnalisnya
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 30 Juni 2025 04:00 WIB

Oleh Supriyanto Martosuwito*
ORBITINDONESIA.COM - Bagi para wartawan angkatan saya,era 1980 - 2020 - nampaknya juga wartawan sebelum dan sesudah generasi saya - surat kabar harian ‘Kompas’ adalah sekolah menulis yang tak pernah berhenti mengajar. Setiap halamannya adalah contoh bagaimana bahasa jurnalistik bisa elegan tanpa kehilangan ketajaman. ‘Kompas’ adalah majalah harian, seorang teman saya menyatakan. Berita yang ditulis mengandung kedalaman - selain kelengkapan.
Di halaman empat, khususnya, rubrik opini, analisis, dan esai mengajarkan cara menyusun argumen yang runtut, berbasis data, namun tetap menggugah. Tokoh-tokoh seperti Jakob Oetama, Rosihan Anwar, MAW Brouwer, H Mahbub Junaedi, Umar Kayam, Jacob Soemardjo, Parakriti Simbolon, mewariskan tradisi menulis yang tak hanya informatif, tetapi juga reflektif.
Di era ketika media sosial membanjiri kita dengan tulisan-tulisan pendek yang seringkali dangkal, ‘Kompas’ mengingatkan kita bahwa menulis adalah kerja intelektual. Setiap berita, laporan investigasi, atau tajuk rencana di koran ini adalah pengingat bahwa kata-kata memiliki bobot, dan setiap kalimat harus dipertanggungjawabkan.
Sejak terbit pertama kali pada 28 Juni 1965, ‘Kompas’ tak hanya memberitakan peristiwa, tetapi juga membentuk cara berpikir, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, dan menjaga marwah jurnalisme di tengah gempuran media baru yang mengutamakan kecepatan.
Di usia 22 tahun, tulisan saya berhasil menembus Kompas. Lalu, dari tulisan pertama berlanjut ke tulisan berikutnya. Namun semakin lama semakin sulit saja. Dan setelah bergabung ke media ibukota, saya fokus menulis di media ‘sendiri” sembari terus membandingkan dengan karya karya jurnalistik di 'Kompas', sebagai panduan dan rujukan.
Di usia yang ke-60 ini, ‘Kompas’ tetap tegak sebagai mercusuar yang menawarkan kelengkapan, kedalaman, dan keseimbangan; tiga pilar yang justru semakin langka di era banjir informasi.
KOMPAS bukan sekadar media—ia adalah cermin Indonesia yang majemuk. Dalam liputannya, koran ini selalu menekankan pentingnya persatuan di tengah perbedaan. Ketika isu SARA mengoyak bangsa, Kompas kerap menjadi penyeimbang, menolak narasi kebencian dan mengedepankan dialog.
Sikap ini bukan tanpa risiko. Di era Orde Baru, Kompas sempat dibredel karena dianggap terlalu kritis. Namun, justru di saat-saat seperti itulah integritasnya teruji. Koran ini tak pernah terjebak menjadi corong kekuasaan atau kepentingan sempit. Prinsip "Amanat Hati Nurani Rakyat" yang dipegang sejak awal bukan sekadar slogan, melainkan komitmen yang dijalankan dengan konsisten.
Baca Juga: Mantan Wartawan Kompas, Agus Hermawan Terbitkan Buku "Enggak Lari, Enggak Keren”
PARA WARTAWAN Kompas adalah teladan dan guru saya. Mereka tak hanya mencari berita, tetapi juga menelusuri setiap cerita hingga ke akarnya. Saya masih ingat laporan-laporan mendalam seperti investigasi korupsi, liputan kemanusiaan dari daerah konflik, atau kisah-kisah inspiratif tentang orang biasa yang melakukan hal luar biasa.