DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Ia tidak hanya menggugah, tetapi mengajari kita untuk mengenal luka dunia dengan empati dan puitika.

Melalui format ini, puisi tak hanya menjadi alat ekspresi, tapi juga instrumen dokumentasi sosial.

Kita tidak hanya diajak menangis bersama para korban; kita diajak mengerti mengapa mereka menangis, di mana mereka menangis, dan apa yang bisa dilakukan agar tangis itu berhenti.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Ketika seorang penjaga perbatasan berkata:

“Aku bukan penyair.
Tapi sejak kerja ini bermula,
aku belajar membaca perasaan
melalui kelipan mata…”

Maka kita tahu: puisi sudah bukan lagi milik penyair. Ia telah turun ke bumi, ke meja petugas, ke ladang yang dirampas, ke kamar tua yang sunyi, ke lubang tambang yang basah darah.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh

Puisi esai adalah suara bagi mereka yang tak sempat menulis. Festival ini telah menjadi altar kecil untuk menghadirkan mereka ke dalam sejarah sastra Asia Tenggara.

Karena, seperti yang diyakini oleh petugas itu dan para penyair di sini: keamanan dan kemanusiaan bukan lawan, tetapi dua kaki dari bangsa yang ingin berdiri tegak.***

Jakarta, 28 Juni 2025

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai

-000-

Halaman:

Berita Terkait