DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Yang paling mengguncang: ia harus mendeportasi teman ibunya sendiri. Memoar ini menjadi elegi sunyi tentang dilema penjaga pagar—antara tugas negara dan jerit nurani.

Puisi esai Antara Wajah dan Wibawa pun berbicara dari tempat yang sama: dari tubuh petugas. Bukan dari sudut pandang korban atau aktivis, melainkan dari orang yang berdiri di perbatasan.

Ia berseragam, dituntut menegakkan aturan, tetapi hatinya remuk melihat anak-anak dan ibu yang tiba tanpa dokumen.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai

Keduanya—memoar dan puisi—merekam konflik batin yang halus namun menyayat. Cantú menulis:

“Apakah yang saya lakukan ini membela negara, atau mengingkari kemanusiaan?”

Sementara Beathres menulis:

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh

“Aku tidak mahu undang-undang dilonggarkan / tapi aku mahu undang-undang / ditulis dengan tangan yang tahu apa itu pengampunan.”

Keduanya tidak menolak hukum, tetapi mempertanyakan: bisakah hukum punya jendela untuk kasih?

Persamaan keduanya adalah ketegangan antara wibawa negara dan wajah manusia.

Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai

Mereka memotret seorang penjaga, bukan sebagai alat sistem, tetapi sebagai pribadi yang mampu mendoakan, meragukan, dan menangis diam-diam.

Halaman:

Berita Terkait