Catatan Denny JA: Dilema Batin Petugas Perbatasan dan Luka Sosial Lainnya
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 28 Juni 2025 15:30 WIB

Inilah yang disuarakan Beathres Petrus dalam puisi esainya yang memukau, Antara Wajah dan Wibawa.
Puisi ini memenangkan Hadiah Utama 1 dalam Sayembara Puisi Esai Antarabangsa Kota Kinabalu 2025.
Ditulis dari sudut pandang seorang petugas garis depan, puisi ini bukan protes. Ia adalah doa profesional:
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Puisi, dan Apapun, tak Pernah Cukup, Lalu Mengapa Lahir Puisi Esai
“Aku tidak mahu undang-undang dilonggarkan
tapi aku mahu undang-undang
ditulis dengan tangan yang tahu apa itu pengampunan.”
Puisi ini menjadi pusat gravitasi sayembara karena pendekatannya yang orisinal dan keberaniannya membicarakan kemanusiaan dari balik seragam, bukan dari balik luka korban.
Ia menggetarkan justru karena kejujurannya yang sunyi. Ia tak bicara atas nama “yang kalah,” tapi atas nama “yang menjaga”—yang juga sering tak punya suara.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: Ketika Kita Diam Saja Melihat 1300 Anak-anak Dibunuh
Membaca puisi esai Antara Wajah dan Wibawa karya Beathres Petrus, saya teringat pada sebuah karya sastra dunia yang mengangkat topik yang nyaris serupa: The Line Becomes a River (2018) karya Francisco Cantú.
Sebuah memoar kontemplatif yang lahir dari pengalaman langsung sang penulis sebagai agen Patroli Perbatasan Amerika Serikat di gurun Arizona dan sepanjang perbatasan AS–Meksiko.
Cantú, keturunan Meksiko-Amerika, ditugaskan untuk menangkap dan mendeportasi migran yang masuk secara ilegal.
Baca Juga: Puisi Esai Denny JA: 100 Tahun Gedung Bunga Rampai
Namun, yang ia temukan bukan sekadar pelanggar hukum, melainkan manusia: anak-anak yang kehausan, ibu yang membawa bayi, serta tubuh-tubuh yang mati di tengah padang pasir.