Palestina dan Tanggung Jawab Sejarah: Hijrah Menuju Persatuan
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Sabtu, 28 Juni 2025 00:18 WIB

Oleh Rimun Wibowo *
ORBITINDONESIA.COM - Krisis kemanusiaan yang terus terjadi di Palestina bukan sekadar persoalan konflik wilayah atau sengketa tanah, melainkan cerminan dari kegagalan sistem global dalam menjamin keadilan, serta refleksi dari perpecahan umat Islam yang kian akut.
Setiap bom yang dijatuhkan, setiap nyawa yang melayang, dan setiap keluarga yang tercerai-berai di Gaza dan Tepi Barat adalah luka terbuka bagi seluruh umat. Namun, mengapa tragedi ini berlangsung begitu lama, nyaris tanpa harapan penyelesaian yang adil?
Baca Juga: Penderitaan Warga Gaza Sentuh Level yang Belum Pernah Dicapai
Sejak akhir abad ke-19, ketika gerakan Zionisme mulai menggalang dukungan untuk mendirikan negara bagi orang Yahudi di tanah Palestina, peta politik kawasan Timur Tengah mulai berubah secara radikal.
Melalui Deklarasi Balfour 1917 dan pengaruh kuat negara-negara kolonial seperti Inggris, imigrasi besar-besaran ke Palestina terjadi. Saat negara Israel diproklamasikan tahun 1948, lebih dari 700.000 warga Palestina terusir dari tanah mereka.
Tragedi ini dikenal sebagai Nakbah, bencana nasional Palestina yang hingga kini belum menemukan akhir. Sejak saat itu, siklus kekerasan, pendudukan, blokade, dan ketidakadilan terus berlangsung.
Baca Juga: Aktivis Afrika Utara Serukan Segera Diakhirinya Blokade Israel Terhadap Gaza
Selama beberapa dekade, upaya internasional untuk menyelesaikan konflik Palestina - Israel melalui pendekatan diplomatik nyaris tak menghasilkan perubahan berarti. Pendudukan terus meluas, permukiman ilegal terus dibangun, dan Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam, terus menghadapi ancaman.
Namun ironisnya, dunia Islam yang terdiri atas lebih dari 50 negara, dengan sekitar 2 miiliar penduduk Muslim, belum mampu memberikan dukungan nyata yang efektif bagi rakyat Palestina. Solidaritas memang banyak, tetapi kekuatan kolektif yang terorganisir masih jauh dari harapan.
Hari ini, umat Islam tersebar di berbagai belahan dunia, dengan sumber daya alam dan manusia yang luar biasa. Namun, realitas menunjukkan bahwa potensi ini terfragmentasi. Nasionalisme sempit, rivalitas politik, serta tekanan eksternal telah memecah belah kekuatan umat Islam menjadi bagian-bagian kecil yang tak mampu bertindak secara kolektif untuk membela sesama.
Baca Juga: Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Desak Gencatan Senjata Segera dan Tanpa Syarat di Gaza
Padahal sejarah mencatat, dalam banyak fase peradaban Islam, persatuan di bawah satu kepemimpinan mampu menjadi perisai bagi umat, sekaligus pembawa keadilan bagi yang tertindas.
Tahun Baru Hijriah: momen hijrah ke persatuan
Kini, saat kita merayakan Tahun Baru Hijriah, hendaknya momentum ini tidak berlalu hanya sebagai seremonial kalender, tetapi menjadi panggilan rohani untuk berhijrah secara pemikiran dan peradaban.
Baca Juga: Dianita Maulin Vasko Baca Puisi untuk Gaza Bersama Penyair dan Tokoh Sumatra Barat
Hijrah bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah sikap dan visi, dari berpikir sempit dalam kerangka nasionalisme buatan kolonial, menuju pandangan sebagai satu umat yang terikat oleh akidah dan perjuangan yang sama.
Momentum Tahun Baru Hijriah ini adalah saat paling tepat untuk bertekad mengakhiri perpecahan, dan menguatkan kesadaran bahwa tanpa persatuan, umat hanya menjadi penonton dalam panggung penderitaan saudaranya sendiri.
Sikap dan rekomendasi untuk Indonesia
Baca Juga: Dianita Maulin Vasko, Istri Wagub Sumbar, Teteskan Air Mata untuk Gaza
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak cukup hanya menjadi suara moral atau pemberi bantuan kemanusiaan. Langkah-langkah diplomatik standar, seperti mengecam di PBB atau menyerukan gencatan senjata, telah berulang kali terbukti mandul. Palestina tetap dijajah. Al-Aqsa tetap dinistakan.
Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah yang lebih berani dan radikal, yaitu menginisiasi konsolidasi ideologis dan politik di antara negara-negara Islam menuju persatuan strategis dunia Islam.
Rekomendasi nyata yang harus mulai diwujudkan adalah mengundang negara-negara Muslim untuk mengadakan KTT darurat internasional dengan satu fokus: menyusun langkah kolektif untuk mengakhiri penjajahan Israel, bukan lagi sekadar “mengelola konflik”.
Baca Juga: Tujuh Tentara Israel Tewas dalam Ledakan di Kota Khan Younis, Jalur Gaza Selatan
Kemudian mendorong terbentuknya struktur koordinasi permanen antarnegara Islam, sebagai cikal bakal integrasi politik dan militer umat Islam dalam menghadapi agresi global, dimulai dari Palestina.
Selanjutnya memulai langkah diplomasi terbuka untuk membangun blok kekuatan dunia Islam, bukan sebagai aliansi jangka pendek, tetapi sebagai pondasi menuju satu kepemimpinan umat Islam global yang bersatu dan berdaulat.
Indonesia tidak perlu takut ditinggalkan Barat, karena sejarah membuktikan: dunia menghormati keberanian dan kepemimpinan visioner, bukan keragu-raguan.
Baca Juga: PBB: Kekurangan Bahan Bakar dan Penembakan Ancam Pasokan Air di Gaza
Hijrah adalah awal kebangkitan. Dan kebangkitan umat Islam tidak akan pernah lahir dari nasionalisme sempit atau semangat sektoral. Ia hanya akan tumbuh dari ruh persaudaraan akidah yang melintasi batas geografi dan warna bendera.
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu itu, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).
Mari jadikan Tahun Baru Hijriah ini sebagai awal dari hijrah umat: dari kerapuhan menuju kekuatan, dari perpecahan menuju persatuan, dari keterikatan pada sistem buatan menuju tegaknya satu kepemimpinan Islam global yang mampu mengakhiri penjajahan dan menegakkan keadilan yang hakiki.
Baca Juga: WHO Sukses Lancaran Pengiriman Medis Pertama ke Gaza Palestina Sejak 2 Maret
Sudah terlalu lama umat Islam tersandera oleh batas-batas buatan. Sudah terlalu banyak darah tertumpah tanpa perlindungan yang layak. Kini saatnya kita bergerak melampaui retorika dan simbol, menuju gerakan strategis yang menghidupkan kembali cita-cita besar umat: menjadi rahmat bagi semesta, dan pelindung bagi setiap yang tertindas.
Hijrah yang sejati adalah berani keluar dari ketakutan, keluar dari ketergantungan pada sistem yang tidak berpihak, dan melangkah menuju sistem kehidupan Islam yang menyatukan, memimpin, dan menegakkan keadilan.
*Dr Rimun Wibowo adalah dosen Ilmu Lingkungan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik dan Sains Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor. ***