DECEMBER 9, 2022
Humaniora

"Melampaui Narasi Media: Menemukan Wajah Damai Ahmadiyah"

image

ORBITINDONESIA.COM - Dua hari ini saya life in di komplek Kampus Mubarak Ahmadiyah di Parung, Bogor. Saya bersama rombongan tim Esoterika disambut dengan hangat oleh para anggota jemaat. Ini bukan kali pertama saya berelasi dengan komunitas Ahmadiyah. 

Berbeda dengan life in yang pernah saya ikuti pada 2021 silam bersama para biarawati Katolik RSCJ pimpinan Sr. Gerardette Philips di Bandung - program kali ini sebenarnya tidak secara khusus dirancang untuk mengenal Ahmadiyah. 

Namun takdir membawa saya kembali menyusuri jalan spiritual menuju ruang-ruang batin sendiri.

Baca Juga: Buku Alan Watts: The Way of Zen, Menyelami Kedalaman Spiritualitas Zen

Selama ini kita hanya sering mendengar bagaimana Ahmadiyah kerap menjadi sasaran diskriminasi, dituding sesat, bahkan dianggap di luar Islam oleh sebagian kalangan. 

Sebagai generasi Z yang aktif menggunakan media sosial - saya merasa media sosial dan berita daring selama bertahun-tahun menyebarkan narasi penuh stigma terhadap Ahmadiyah.

Mulai dari persekusi, pembubaran ibadah, hingga penolakan hak atas tempat ibadah. Menurut laporan Setara Institute dan YLBHI, diskriminasi terhadap Ahmadiyah tidak surut hingga 2024–2025. 

Baca Juga: Buku Musdah Mulia, Muslimah Reformis: "Sebuah Seruan Kritis dari Hati Nurani Seorang Perempuan”

58,75% penganut Ahmadiyah di berbagai kota seperti (Tasikmalaya, Depok, Sukabumi, Kuningan, Bogor) melaporkan diskriminasi dalam 5 tahun terakhir. 

Misalnya, pembubaraan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indnesia di Kuningan 2024 silam. Catatan kelam terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. 

-00-

Baca Juga: Habib Hussein Ja'far Al Hadar, "Tuhan Ada di Hatimu": Menemukan Spiritualitas yang Dekat dan Relevan

Namun, mengapa setiap kali kita menyebut “Ahmadiyah”, yang terlintas hanya diskriminasi dan ketidakadilan? 

Mengapa tidak kita mulai dari semboyan indah yang mereka usung: Love for All, Hatred for None—Cinta untuk Semua, Tanpa Kebencian?

Saya sejenak diam, merenung. Mungkin karena opini publik telah digiring begitu jauh. Kita hanya mengenal Ahmadiyah dari wajah luka, bukan dari wajah damai. 

Narasi media sosial, dengan algoritma yang membangun echo chamber, menampakkan mereka dalam satu sisi: kontroversi.

Narasi ini tentu berbalik dari apa yang saya alami.

Sepanjang saya bergiat di Esoterika Forum Spiritualitas, yang diketuai oleh Denny JA bersama tokoh-tokoh antariman seperti Budhy Munawar Rachman, Ahmad Gaus AF, dan Anick HT, - saya mendapati hal berbeda. 

Perjumpaan dengan Ahmadiyah saya alami bukan hanya secara fisik, tapi juga mungkin secara batin. Ada kehangatan dan kelembutan yang mereka hadirkan dalam berelasi. 

Ada nilai-nilai Islam yang justru terasa begitu otentik: kesederhanaan, keikhlasan, dan ketulusan dalam menjalin harmoni.

-00-

Hari ini, perjumpaan batin saya dengan mereka kembali menghangat. Seusai sesi, saya berkeliling ke perpustakaan “Peace Center” Ahmadiyah, kali pertama saya masuk ke ruang tersebut.

Begitu pintu perpustakaan dibuka, mata saya disambut oleh dinding-dinding penuh poster tokoh lintas agama—Musdah Mulia, Buya Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, Gus Dur, Cak Nur, bahkan Bunda Teresa, Paus Fransiskus, Confucius, dan Siddharta Gautama. 

Kata-kata mereka menyala di dinding, memancarkan pesan damai dan cinta kasih universal. Ruang itu terasa begitu hening dan sakral. 

Saya bertanya dalam hati: mengapa narasi-narasi damai seperti ini tidak saya lihat di media sosial? 

Mengapa yang kami dengan hanya soal kebencian dan diskriminasi terhadap teman-teman Ahmadiyah atau tuduhan praktik-praktik menyimpang seperti prosesi Haji yang tidak sama dengan Islam, dan tuduhan lainnya yang tidak pernah kita dikonfirmasi langsung?

Dalam perbincangan dengan salah satu pengurus perpustakaan, saya mendapat konfirmasi bahwa para jemaat Ahmadiyah tetap menunaikan ibadah haji ke Mekah, merayakan Idul Adha, dan menjalankan rukun Islam seperti umat Muslim lainnya. 

Tuduhan-tuduhan di media sosial nyatanya hanya hasil asumsi yang lahir dari penggiringan opini yang menyesatkan. 

Sayangnya, opini ini sangat efektif menjangkau generasi Z dan Alpha—kelompok usia muda yang kini menjadi pengguna media sosial paling dominan. 

Berdasarkan laporan Data Reportal 2024, lebih dari 60% pengguna media sosial aktif di Indonesia berasal dari generasi Z dan Alpha. 

Mereka tumbuh dalam lautan informasi tanpa sempat menyaring mana yang berdasarkan fakta dan mana yang hanya hoaks viral. 

Ironisnya, meski mereka (generasi muda) dikenal lebih terbuka terhadap keberagaman, dengan tingginya penggunaan media sosial mereka tetap rawan terpapar narasi yang memperkuat stereotip.

Generasi ini sejatinya cukup punya ruang untuk berdialog jika diberi kesempatan bertemu langsung. 

Kita hanya membutuhkan hati yang terbuka. Karena dengan mengenal langsung, berjumpa, dan berdialog. 

Kita juga perlu melihat bahwa misi Islam—termasuk Ahmadiyah—adalah rahmatan lil ‘alamin: membawa rahmat, bukan permusuhan.

Sebagaimana yang pernah dikatakan Dawam Rahardjo, “Ahmadiyah adalah paham keislaman yang lebih menekankan orientasinya pada moralitas dan humanisme. Faktanya, mereka mendakwahkan nilai-nilai Islam itu sendiri: mengembangkan kehidupan yang rukun, damai, dan anti-kekerasan.”

Esai ini menjadi bagian dari refleksi saya untuk menyalakan kembali cahaya yang tertutup kabut. 

Jika lebih banyak orang membuka hati dan memberi ruang perjumpaan terhadap yang lain, kita tak lagi menilai dari label, tapi dari cinta yang nyata—cinta yang telah lama menjadi semboyan Ahmadiyah: Love for All, Hatred for None.***

Halaman:

Berita Terkait