DECEMBER 9, 2022
Buku

Buku Alan Watts: The Way of Zen, Menyelami Kedalaman Spiritualitas Zen

image
Alan Watts: The Way of Zen

ORBITINDONESIA - Bagi banyak orang, Zen terdengar seperti sesuatu yang asing, dan hanya bisa dipahami oleh para biksu di puncak gunung. Tapi lewat buku The Way of Zen, Alan Watts mengajak kita menapaki jalan Zen dengan cara yang sangat membumi, lembut, dan kadang penuh kejutan.

Buku ini bukan hanya sebuah pengantar tentang Zen—lebih dari itu, ia adalah perjalanan spiritual yang mengajak kita kembali pada kesadaran yang paling hakiki: bahwa hidup bukan soal mencapai, tapi soal mengalami.

Alan Watts, seorang filsuf dan pembicara memiliki kemampuannya menjembatani pemikiran Timur dan Barat, menulis buku ini sebagai undangan untuk memahami Zen tidak hanya dari sisi ajaran, tapi juga dari pengalaman.

Baca Juga: Budhy Munawar-Rachman: Islam Progresif, Kontestasi Pemikiran Islam di Indonesia

Dalam The Way of Zen, ia membagi buku menjadi dua bagian utama: yang pertama membahas asal-usul dan akar historis Zen, termasuk pengaruh dari filsafat India, Buddhisme Mahayana, dan Taoisme Tiongkok; sementara bagian kedua menjelajahi langsung praktik dan pengalaman Zen itu sendiri.

Watts tidak menawarkan Zen sebagai sistem kepercayaan atau dogma, melainkan sebagai cara melihat dunia dengan kesadaran penuh, tanpa keterikatan, tanpa ego yang selalu ingin “mengendalikan.”

Ia menjelaskan bahwa Zen bukan tentang menjadi sesuatu yang “lebih baik” atau “lebih suci,” melainkan tentang menjadi apa adanya, di sini dan saat ini.

Baca Juga: Mengenal Paradoks Zen Haemin Sunim

Salah satu bagian yang paling menyentuh adalah ketika Watts berbicara tentang ketidakterpisahan antara manusia dan alam semesta. Dalam pandangan Zen, manusia bukan entitas yang terpisah dari dunia, melainkan bagian dari tarian besar kehidupan. Pikiran kita yang terus-menerus ingin “mengerti” sering justru menjadi penghalang bagi pengalaman yang sesungguhnya. 

Kekuatan utama buku ini terletak pada jembatan yang dibangun Watts antara Timur dan Barat. Ia memahami betul kebingungan orang Barat dalam memahami konsep Zen yang sering dianggap “tidak logis.” Alih-alih menjelaskannya secara teknis atau akademis, Watts mengajak kita untuk melihat bahwa logika bukan satu-satunya alat untuk memahami kehidupan. Kadang justru dalam keheningan, dalam tidak mengerti, kita bisa benar-benar mengalami.

Namun, buku ini bukan tanpa tantangan. Meski bahasanya cukup ramah, beberapa bagian tetap terasa padat dengan referensi sejarah, istilah asing, dan konsep filosofis yang mungkin membuat pembaca pemula perlu membacanya dua kali untuk menangkap maknanya.

Baca Juga: Denny JA: Perlu Dibentuk Pusat Studi Agama dan Spiritualitas Era Artificial Intelligence

Bagi mereka yang mencari panduan praktis meditasi atau teknik Zen sehari-hari, buku ini mungkin terasa lebih filosofis daripada aplikatif. Tetapi justru di situlah letak kekayaan buku ini: ia mengajak kita memahami dasar-dasar berpikir Zen sebelum sekadar “melakukan” Zen.

Halaman:

Berita Terkait