
Kalau ente ikut salah satunya, selamat, sampeyan masih Muslim meskipun bacaan iftitahmu beda dari ustaz favorit netizen.
Pasal kedua: Takfir itu dilarang. Tidak boleh mengafirkan siapa pun yang ikut salah satu mazhab tersebut, juga tidak boleh mengafirkan Asy’ariyah, kaum sufi sejati, dan para Salafi yang bukan Salafi bohongan. Karena mengafirkan itu bukan olahraga nasional.
Pasal ketiga, yang boleh berfatwa hanyalah ulama yang memenuhi syarat keilmuan dan otoritas. Artinya, kalau nuan cuma hafal dua juz dan hobi debat live di TikTok, mohon maaf, jangan fatwa dulu. Fatwa itu bukan status WhatsApp, bro. Ia butuh ilmu, sanad, dan akhlak.
Baca Juga: Dubes Mohammad Boroujerdi: Iran Siap Bantu Proses Evakuasi Warga Negara Indonesia
Setahun kemudian, tepatnya 4–6 Juli 2005, Konferensi Islam Internasional digelar di Amman. Ini bukan konferensi kaleng-kaleng. Lebih dari 200 ulama dari 50 negara hadir.
Di sana hadir Syaikh Mahmud Syalthut dan Syaikh Ahmad Thanthawi dari Universitas Al-Azhar, dua sosok legendaris yang bisa bikin debat fikih jadi terdengar seperti syair cinta. Ada Ayatollah Sayyid Ali Al-Sistani dari Irak dan Ayatollah Ali Khamenei dari Iran, dua bintang besar dari madzhab Ja’fari yang duduk berdampingan dengan Mufti Besar Kesultanan Oman. Hadir pula Dewan Urusan Agama Turki, Akademi Fiqih Islam dari Arab Saudi, dan tentunya Mufti Besar Yordania beserta Komite Fatwa Nasional.
Tak ketinggalan, sang jembatan umat, Syaikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi, ulama kharismatik yang fatwanya sering menyejukkan didengar oleh jutaan Muslim dari Maroko sampai Indonesia. Mereka duduk dalam satu ruangan. Tidak saling mencurigai, tidak membawa bom dalil, tidak melempar tasbih.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ujung Perang Israel Lawan Iran, Perang Tak Henti atau Solusi Dua Negara?
Mereka sepakat, satu suara, bahwa Risalah Amman adalah peta jalan untuk menyelamatkan umat dari hobi mencakar sesama.
Risalah Amman bukan dokumen antik yang ditaruh di museum. Ia adalah pengingat bahwa umat ini pernah waras. Pernah cerdas. Pernah berkumpul dengan kepala dingin dan hati lapang.
Ia adalah saksi bahwa ketika dunia Islam mulai tenggelam dalam lautan debat tak bertepi, masih ada segelintir orang yang berkata, “Kita berbeda, tapi kita saudara. Kita tidak sama, tapi kita tetap Islam.”
Baca Juga: IAEA: Fasilitas Nuklir Iran di Natanz dan Isfahan Rusak Serius, Tapi Situs Fordow Aman
Hari ini, ketika takfiri makin viral, ketika perbedaan dipelintir demi likes, mungkin sudah saatnya kita buka lagi Risalah Amman. Bukan sekadar dibaca. Tapi direnungkan. Sebab di dunia yang terlalu bising oleh suara yang mengklaim paling benar, Risalah Amman datang sebagai bisikan lembut, "Berhentilah memukul bayangan sendiri. Kalian semua sedang menuju arah yang sama. Yang beda hanya cara melangkah."