Catatan Hamri Manoppo: Denny JA dan Peluang Nobel Sastra, Dari Puisi Esai Menuju Pengakuan Global
- Penulis : Krista Riyanto
- Senin, 16 Juni 2025 12:56 WIB

“Puisi Denny JA bukan hanya dibaca, tapi dipertontonkan dalam bentuk animasi, lukisan, dan video puisi. Inilah puisi era 5.0,” ujar Eko Darmoko, kritikus sastra Universitas Indonesia (Kompas, 2021).
Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi yang dipelopori Denny JA menggunakan puisi esai sebagai alat advokasi, menjadikan karya sastra berfungsi sebagai instrumen perubahan sosial.
Hal ini menjadikan Denny JA bukan hanya sastrawan, tapi agen kebudayaan yang aktif dalam ranah publik.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Jika Sebuah Nada Diberi Hak
Nobel dan Kecenderungan Global
Hadiah Nobel Sastra tidak terlepas dari politik sastra dan kecenderungan global. Dari Asia Tenggara, belum ada sastrawan yang menerima penghargaan ini, meskipun nama Pramoedya Ananta Toer sering disebut dalam radar Nobel.
Masuknya Denny JA ke dalam nominasi Nobel Sastra menunjukkan bahwa Komite Nobel mulai membuka mata terhadap sastrawan yang bukan berasal dari Eropa atau Amerika Latin.
Menurut Horace Engdahl, mantan sekretaris tetap Akademi Nobel, “Sastra dunia terlalu didominasi oleh Eropa dan Amerika. Sudah saatnya kita memperluas horizon.” (The Guardian, 2008)
Jika Nobel ingin memproyeksikan wajah baru sastra dunia—yang terbuka pada bentuk, media, dan tema yang lebih luas—maka Denny JA adalah pilihan tepat: ia membawa isi lokal dengan bentuk global, membahas persoalan kemanusiaan dengan gaya dokumenter-puitik.
Kesimpulan: Nobel sebagai Kemungkinan Nyata
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bunga Rampai 100 Tahun Arsitektur Perjuangan dan Jejak Rasa Kuliner
Denny JA telah menunjukkan konsistensi, keberanian bereksperimen, dan keberpihakan pada isu kemanusiaan.