DECEMBER 9, 2022
Kolom

Heidegger dan Petani Sunda: Menggali Eksistensi dari Tanah

image
Petani muda Baris Pangebon Bandung Kidul, Jawa Barat upacara meruwat tanah sebelum menanam.

ORBITINDONESIA.COM – “Hirup teh kudu ngahuma, supaya inget deui ka jati diri” (Hidup harus bertani, supaya ingat kembali pada jati diri).

Kalimat itu saya dengar dari Iman, seorang pengampu kebun tradisional dan pegiat literasi di Bandung Selatan.

Ia tak mengenal Martin Heidegger atau Sartre, tetapi percakapannya menggema seperti kuliah filsafat eksistensial.

Baca Juga: Pilkada Jakarta 2024: Aliansi Masyarakat Sunda Jakarta Berlabuh ke Pramono Anung-Rano Karno

Heidegger dalam Being and Time (1927) menyebut konsep *Dasein*—makhluk yang sadar akan eksistensinya dan kematiannya. Tapi dalam tradisi Sunda agraris, konsep itu tampak hidup dalam praktik bertani, dalam ritus menanam, dan dalam doa-doa untuk tanah.

Petani tahu ia menua bersama musim, dan tubuhnya kelak kembali menjadi tanah yang ia garap. Ini bukan sekadar ekonomi pangan, tapi ontologi lokal.

Dalam penelitian Johan Iskandar dan Siti Nuryati (Agroekosistem Orang Sunda, 2015), disebutkan bahwa petani tradisional di Tatar Sunda memandang tanah bukan sebagai objek produksi, melainkan sebagai entitas hidup dengan dimensi spiritual.

Baca Juga: Ribuan Orang Kibarkan Bendera Indonesia dan Palestina di Perairan Selat Sunda, Bakauheni Lampung

Mereka tidak menggunakan istilah ‘eksistensi’, tetapi percaya bahwa "tanah yang baik hanya bisa digarap oleh niat yang baik."

Di sinilah filsafat kontemporer menemukan tanahnya kembali—secara harfiah. Bukan di ruang akademik, tetapi di kebun, ladang, dan lumbung. Di sana, ‘being’ bukan kata benda, melainkan tindakan harian: menanam, merawat, menunggu.

Heidegger resah pada dunia yang makin teknologis, yang menjadikan manusia ‘terlempar’ ke dunia (Geworfenheit) tanpa kesadaran akan ‘ke-ada-an’-nya.

Baca Juga: Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid Serahkan Sertifikat Tanah Milik Gereja Kristen Pasundan Kramatjati

Tapi para petani di Perpus Alam Malabar, tanpa perlu metafisika rumit, sudah hidup dalam sikap itu: menerima waktu, berdamai dengan musim, dan membangun relasi spiritual dengan lanskap.

jadi, mungkin sudah saatnya kita meninjau ulang anggapan bahwa filsafat hanya milik kampus. Sebab barangkali, jawaban paling jujur tentang “apa makna hidup” justru ditemukan bukan dalam seminar, tetapi dalam segenggam tanah.***

Sumber: J

Johan Iskandar, Agroekosistem Orang Sunda, 2015. Heidegger, Being and Time, 1927.

Halaman:

Berita Terkait