Catatan Denny JA: Ijazah Jokowi Asli dan Lima Kesalahan Metodologis Tuduhan Palsu
- Penulis : Krista Riyanto
- Kamis, 22 Mei 2025 20:37 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Bareskrim, melalui serangkaian riset forensik, telah menyimpulkan: Ijazah mantan presiden Joko Widodo akrab disapa Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) adalah asli.[^1]
Pernyataan Bareskrim ini memperkuat sikap resmi UGM—institusi yang menerbitkan ijazah tersebut—yang sejak awal telah menegaskan keasliannya.
Lalu, di mana letak kesalahan pihak penuduh yang berkali-kali berusaha meyakinkan publik bahwa ijazah Jokowi mungkin palsu?
Baca Juga: Jokowi Tonton Langsung Persis Solo Terkapar Ditebas Laskar Kie Raha Malut United di Stadion Manahan
Pertanyaan ini penting untuk dieksplorasi. Bukan semata untuk membela seorang tokoh, melainkan untuk membantu kita tumbuh dewasa dalam berdemokrasi.
Ini adalah tentang kecermatan berpikir dan keberanian membedakan antara prasangka dan kebenaran.
-000-
Baca Juga: Menlu Sugiono: Jokowi Dipertimbangkan Jadi Utusan Khusus Indonesia ke Pemakaman Paus Fransiskus
Proses Pembuktian Bareskrim
Di ruang laboratorium forensik Puslabfor Polri, selembar ijazah diperiksa laksana artefak sejarah.
Tak ada debat politik, tak ada opini liar. Yang bekerja hanya cahaya mikroskop dan data.
Baca Juga: Jokowi Laporkan Orang yang Menuding Ijazahnya Palsu ke Polda Metro Jaya
Tim penyidik menelaah:
• bahan kertas dan pengamannya (seperti watermark),
• teknik cetak (handpress/letterpress),
Baca Juga: Mensesneg Prasetyo Hadi Bantah Anggapan Presiden Prabowo Hindari Bertemu Jokowi
• tinta tulisan tangan,
• stempel dan tanda tangan dari dekan serta rektor UGM saat itu.
Dokumen tersebut dibandingkan dengan ijazah milik alumni seangkatan Presiden Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM.
Baca Juga: Elite PSI William Aditya Sarana: Jokowi Masuk Bursa Bakal Calon Ketua Umum
Hasilnya: identik. Dari jenis kertas hingga format tanda tangan, semuanya berasal dari sistem akademik yang sah.
Penelusuran bahkan dilakukan ke 13 titik lokasi, termasuk:
• Rektorat dan fakultas di UGM,
• hingga ke arsip koran Kedaulatan Rakyat edisi Juli 1980, yang mencatat nama Joko Widodo sebagai mahasiswa baru.
Semua bukti—fisik, digital, dan historis—mengarah pada satu kesimpulan:
Ijazah itu asli. Ia bagian dari sejarah akademik yang otentik dan sah.
-000-
Lima Kesalahan Metodologis Pihak Penuduh
Lantas, di mana letak kekeliruan mendasar si penuduh?
Kesalahannya terletak pada pengabaian prinsip-prinsip dasar riset ilmiah. Lima kesalahan metodologis berikut ini menunjukkan cacat serius dalam tata akademik:
1. Data Sekunder Tak Tervalidasi Tak Bisa Dijadikan Dasar Analisis
Penuduh hanya menyandarkan tuduhannya pada gambar digital ijazah Jokowi yang beredar di media sosial.
Ia menyoroti font, warna tinta, dan tekstur cetakan. Namun satu hal krusial diabaikan: data tersebut tidak tervalidasi.
Sebagai data sekunder yang belum diverifikasi, gambar digital itu tidak dapat dijadikan dasar analisis apa pun.
Seorang peneliti profesional tahu: menggunakan data sekunder tanpa konfirmasi adalah pelanggaran berat dalam metode ilmiah.
Bukankah gambar itu bisa terdistorsi? Bagaimana proses digitalisasinya? Bagaimana kita tahu pasti data sekunder itu adalah sama dengan data primer?
Membangun kesimpulan dari sumber semacam ini ibarat membangun rumah di atas kabut.
2. Mengabaikan Prinsip Triangulasi
Dalam riset yang sahih, satu sumber tak pernah cukup. Harus ada pembanding, harus ada konfirmasi silang, harus ada proses pengujian.
Namun penuduh tidak:
• membandingkan dengan ijazah alumni seangkatan,
• meminta klarifikasi resmi ke UGM sebelum menuduh,
• atau mengajukan uji forensik independen.
Ia hanya mengandalkan satu gambar digital.
Ini bukan riset. Ini retorika yang menyamar sebagai analisis.
3. Ilusi Visual yang Menyesatkan
Salah satu argumen yang diajukan adalah bahwa font Times New Roman belum digunakan pada tahun 1985.
Padahal secara historis, font itu telah dikembangkan sejak 1931 dan digunakan secara luas dalam mesin ketik dan percetakan profesional sejak tahun 1932.[^2]
Membangun argumen besar dari fakta keliru semacam ini disebut false premise. Bila fondasinya salah, maka seluruh bangunan argumennya runtuh.
4. Mengabaikan Etika Riset
Ilmu bukan hanya soal teknik, tetapi juga soal etik.
Peneliti yang jujur mengakui keterbatasan data, bersedia diuji, dan tidak menyimpulkan besar dari bukti kecil.
Namun dalam kasus ini, si penuduh:
• menggunakan sumber tak sahih,
• menolak klarifikasi dari lembaga resmi (UGM, yang menyatakan keaslian ijazah)
• tetap menyebarkan simpulan yang telah dibantah lembaga resmi UGM.
Ini bukan laku akademik. Ini adalah cacat epistemik—opini yang dipoles seolah-olah ia ilmu.
5. Confirmation Bias: Mencari Apa yang Ingin Dipercaya
Alih-alih menyelidiki secara netral, penuduh tampaknya hanya ingin mencari konfirmasi bagi praduga awalnya.
Ia memilih data yang cocok dengan tuduhan dan mengabaikan semua bukti yang membantah.
Inilah yang disebut confirmation bias:
Kita tidak lagi mencari kebenaran, tapi hanya mencari pembenaran.
-000-
Dalam Demokrasi, Kebenaran Butuh Disiplin
Di zaman banjir informasi, publik membutuhkan lebih dari sekadar opini.
Kita butuh kerendahan hati akademik. Butuh keberanian untuk berkata:
“Saya belum tahu, maka saya harus menyelidiki.”
Bareskrim telah memberi teladan:
kebenaran tidak lahir dari keraguan yang diteriakkan,
tetapi dari keraguan yang diselidiki secara teliti.
Sedangkan, penuduh lebih memilih citra: bayangan yang menyenangkan bagi mereka yang ingin percaya.
Tapi demokrasi tidak butuh citra. Ia butuh cermin: jernih, jujur, meski tak selalu nyaman untuk ditatap.
Kasus ini memberi pelajaran penting: bahwa kebenaran dalam demokrasi harus diperjuangkan—bukan dengan asumsi liar, melainkan dengan metode, integritas, dan disiplin.
Yang benar tetap benar, bahkan jika hanya didukung satu laboratorium.
Yang palsu tetap palsu, meski disebarkan oleh seribu akun.
Dan semoga, dari polemik ini, kita tumbuh sebagai bangsa yang:
• lebih hati-hati dalam menuduh,
• lebih telaten dalam menyelidiki,
• dan lebih bijak memilah kebenaran dari kebisingan.
Lebih jauh, kasus ini seharusnya menjadi katalis bagi tumbuhnya budaya riset dan integritas yang lebih kokoh di seluruh lapisan masyarakat.
Kita perlu memastikan bahwa setiap debat publik—apalagi yang menyangkut reputasi individu maupun institusi—selalu didasarkan pada data, metode, dan etika yang teruji.
Dengan demikian, bukan hanya kebenaran yang menang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap proses ilmiah dan penegakan keadilan yang semakin mengakar.
Namun kita pun tetap dapat mengembangkan sisi positif dari penuduh ijazah palsu Jokowi.
Mungkin saatnya verifikasi ijazah pejabat publik menjadi prosedur standar yang transparan. Alangkah progresif jika:
- Setiap dokumen resmi pejabat negara otomatis diverifikasi independen sebelum kampanye,
- Dibarengi digitalisasi arsip pendidikan oleh negara secara terbuka,
- Dan dibentuknya lembaga audit netral yang mengawasi proses ini.
Tanpa reformasi struktural, debat tentang keaslian dokumen akan terus berulang sebagai alat politik.
Bukankah ini saatnya kita tak hanya menyalahkan "kebisingan" para penuduh,
tetapi juga membangun "antibodi demokrasi" melalui sistem yang kebal manipulasi?
Inilah fondasi penting bagi kemajuan bangsa di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks.***
Jakarta, 22 Mei 2025
Catatan kaki:
[^1]: “Bareskrim: Ijazah Jokowi Asli,” Kompas TV, 18 Mei 2024.
https://www.kompas.tv/ekonomi/591943/bareskrim-nyatakan-ijazah-jokowi-asli
[^2]: “Times New Roman,” Wikipedia, diakses 22 Mei 2025.
https://en.wikipedia.org/wiki/Times_New_Roman
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World