DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Simak Sejarah Munculnya Tradisi Rebo Wekasan dari Berbagai Versi

image
Ilustrasi tradisi Rebo Wekasan yang diisi dengan berbagai amalan.

ORBITINDONESIA - Tradisi Rebo Wekasan masih melekat di dalam masyarakat di sejumlah wilayah Indonesia.

Tradisi Rebo Wekasan masih kerap dijumpai di masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura

Pelaksanaan tradisi Rebo Wekasan ini juga dibalut dengan nuansa Islami seperti dzikir bersama, sedekah makanan, dan pengajian.

Baca Juga: Keren, Batik Lasem Jadi Tanda Mata TWG G20

Di sejumlah masyarakat yang masih merayakannya, Rebo Wekasan diyakini merupakan hari Nabi Muhammad sakit dan meninggal dunia.

Lantas, bagaimana sejarah tradisi Rebo Wekasan di Nusantara?

Dilansir dari laman Kemendikbud, Upacara Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan ini diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar.

Baca Juga: Media Vietnam Kritik Aksi Suporter Indonesia di Stadion GBT

Kata Sapar ini identik dengan ucapan kata Arab syafar yang berarti bulan Arab yang kedua.

Selain itu, kata syafar juga identik dengan kata sapar atau nama bulan Jawa yang kedua dan jumlah bulan yang dua belas.

Sejarah hadirnya tradisi ini ditelaah dalam berbagai versi.

Baca Juga: Tradisi Rebo Wekasan 2022 Jatuh Tanggal Berapa, Simak Keterangannya di Sini

Pertama, Rebo Wekasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan.

Pada zaman itu hidup seorang kyai yang bemama mbah Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit dan diceritakan memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit.

Pada waktu itu masyarakat Wonokromo meyakini bahwa mbah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktekkan mbah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Quran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya sehingga pasien tersebut dapat sembuh.

Baca Juga: Mobil Ambulance Bawa Jenazah Alami Tabrak Bus Sugeng Rahayu di Madiun, Begini Kondisinya

Berkat ketenaran mbah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh Sri Sultan HB I.

Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus empat orang prajuritnya supaya membawa mbah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu.

Temyata ilmu mbah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.

Baca Juga: Satrio Arismunandar: Perlu Berdayakan Budaya Malu dan Kebersalahan untuk Atasi Korupsi

Sepeninggal mbah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rebo Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah.

Versi kedua tidak jauh berbeda, hanya saja Upacara Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Pleret.

Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600.

Baca Juga: Bela Isi Ceramah Islah Bahrawi, Menko Mahfud MD: Dimana Islamphobianya?

Pada masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk.

Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Pungkasan ini diadakan sebagai wujud doa.

Versi ketiga, Kyai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo yang juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu).

Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab.

Baca Juga: Disebut Islamphobia, Ini Isi Ceramah Islah Bahrawi soal Riba dan Teroris di Depan Mahasiswa IPDN

Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat.

Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Pungkasan.

Itulah sejarah munculnya tradisi Revo Wekasan di Nusantara. Semoga bermanfaat.***

Berita Terkait