DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mewaspadai Jurnalisme Oplosan

image
Ilustrasi jurnalisme (Foto: Istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - Ada beras oplosan, bercampur pasir dan biji plastik atau beras murah dicampur premium dan dijual mahal, lalu minuman oplosan, campuran segala minuman beralkohol tinggi, memabukan, dan zat berbahaya lain. 

Belakangan BBM oplosan, yang menipu konsumen hingga atusan triliun rupiah. Tetapi ada oplosan lain yang tak kalah bahaya, yakni informasi oplosan yang dikemas dalam produk jurnalistik dan podcast atas nama media. Singkatnya, jurnalisme oplosan.

Sebutan itu untuk menyebut jurnalisme insinuasi yang minim fakta dan data. Melainkan bersumber dari desas-desus, info dari anonim dengan sebutan keren “sumber yang tak mau disebut namanya” - “sumber A-1” - "dekat dengan eksekutif" - "orang istana" - “sumber VIP” - lalu di-headline-kan, di-pod-cast-kan, di-viralkan, seolah olah kebenaran. Seolah fakta dan data valid.

Baca Juga: Jurnalis Jahat dari Media Arus Utama

Insinuasi adalah suatu bentuk komunikasi dimana pesan disampaikan secara tidak langsung, tersirat, atau melalui sindiran. Makna sebenarnya tidak diungkapkan secara terbuka atau eksplisit.

Insinuasi sering kali digunakan untuk menyampaikan pendapat, kritik, atau tuduhan, tanpa menyatakan hal tersebut secara langsung, sehingga menimbulkan interpretasi atau kesan tertentu pada penerima pesan.

Berita insiunasi digunakan untuk menggiring opini, membangkitkan sugesti, merusak reputasi seseorang, agar penerima pesan menarik kesimpulan tertentu tanpa fakta yang jelas.

Baca Juga: Pentingnya Pelatihan Jurnalistik di Sekolah untuk Meningkatkan Budaya Literasi 

Bahasa insinuasi sering ambigu atau multitafsir, sehingga memungkinkan adanya berbagai interpretasi.

Jurnalisme insinuasi mengutamakan sisi emosi, dirancang untuk memengaruhi pembacanya, untuk menimbulkan rasa curiga, merusak kepercayaan, sengaja menyulut kemarahan dan memicu konflik. Padahal yang disampaikan biasanya tidak didukung oleh bukti atau fakta yang konkret.

Jurnalisme oplosan, yang mencampurkan desas-desus, dan minim fakta bukan monopoli media pinggiran, melainkan juga media utama - mainstream - majalah berita mingguan, stasiun teve kondang milik konglomerat dan politisi, memenuhi pesan sponsor politisi atau korporasi - agen asing, donatur global - bertujuan untuk memengaruhi opini publik atau persepsi orang lain tanpa harus memberikan bukti yang kuat.

Baca Juga: Jurnalisme Adinegoro, Pilar Kebenaran, Independensi, dan Ketajaman Analisis

Jurnalisme oplosan sengaja dirilis untuk menciptakan spekulasi atau prasangka, yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu, seperti merusak reputasi seseorang.

Desas desus disampaikan, dengan awal kata, “patut diduga” - “terkait dengan kasus....” - “dihubungkan dengan... ” semata mata untuk menghindari tanggung jawab reporter, jurnalis, presenter, MC, moderator, dengan cara menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Mendorong pihak yang menerima mengambil kesimpulan. Lalu pembawa berita menyebut : “Anda, lho, yang menyimpulkan!?”

Ujung dari jurnalisme oplosan adalah membangun image negatif kepada target - sesuai pesan pihak sponsor di belakang layar - dalam kemasan kritik dan berujung tuduhan, penghakiman - tanpa pengadilan.

Baca Juga: Menkomdigi Meutya Hafid: FJPI Jadi Wadah Jurnalis Perempuan Perjuangkan Haknya

Jurnalisme insinuasi sengaja dimasukkan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat. Tapi manipulatif, dan tanpa rasa bersalah para pembawa acara temu wicara menyebutnya: “Opini yang berkembang di publik saat ini...”

Jurnalisme oplosan sangat merugikan karena sengaja dibuat untuk menyesatkan publik, merusak kepercayaan, merusak reputasi seseorang, dan pada ujungnya untuk memicu keresahan, demo, kerusuhan, bahkan konflik horizontal . 

(Oleh Supriyanto Martosuwito)***

Halaman:

Berita Terkait