APKI Minta Kebijakan Zero ODOL Harus Paralel dengan Dukungan terhadap Industri
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 31 Januari 2025 16:18 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Industri pulp dan kertas yang tergabung dalam Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) meminta agar kebijakan Zero ODOL (Over Dimension Overload) harus paralel dengan dukungan terhadap industri terkait. Karenanya, APKI berharap Zero ODOL ini diterapkan secara bertahap.
“Zero ODOL diharapkan dapat diterapkan secara bertahap, dan penerapannya juga harus paralel dengan dukungan kebijakan untuk industri terkait seperti penyediaan truk dan juga dukungan insentif untuk pengadaan truk sesuai dengan standar Zero ODOL,” ujar Liana Bratasida,Ketua Umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) baru-baru ini.
Saat ini, menurut dia, persiapan yang dilakukan oleh industri pulp dan kertas dalam menghadapi kebijakan Zero ODOL ini adalah dengan melakukan kajian dan diskusi dengan semua pihak terkait untuk mengevaluasi dampak negatif yang ditimbulkan.
Baca Juga: Belum Ada Regulasi Yang Jelas, Para Sopir Truk di Jawa Timur Tolak Razia ODOL
Dia mengungkapkan penerapan Zero ODOL ini bisa menimbulkan berbagai permasalahan bagi industri pulp dan kertas. Di antaranya adalah menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan, di mana permasalahan tersebut akan mempengaruhi kinerja industri pulp dan kertas.
“Zero ODOL ini jelas akan memperlambat pengiriman, baik bahan baku sampai pada produk jadi. Dengan penerapan Zero ODOL, diperkirakan akan ada kenaikan jumlah truk sebesar 60 persen dan kenaikan konsumsi solar sebesar 140 juta liter,” tuturnya.
Dia juga mengungkapkan kendala-kendala lain yang dihadapi oleh industri kertas dalam menerapkan Zero ODOL ini. Salah satunya adalah terbatasnya truk yang sesuai dengan standar Zero ODOL.
Menurutnya, hal itu disebabkan kemampuan karoseri truk dalam memenuhi tambahan kebutuhan armada setelah penerapan Zero ODOL ini nantinya. “Kemampuan karoseri truk untuk menyediakan truk yang sesuai dengan standar Zero ODOL itu masih sangat terbatas,” ucapnya.
Selain itu, menurut dia, dibutuhkan investasi yang besar untuk menambah armada dan mengubah ukuran atau besaran truk. Kemudian, lanjutnya, sumber daya manusia (SDM) yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan seperti kebutuhan driver yang memiliki kompetensi yang sesuai, dan juga traffic jalan raya yang semakin padat karena naiknya jumlah kendaraan termasuk truk.
“Investasi baru untuk fasilitas parkir juga menambah biaya bagi industri. Juga harga bahan baku akan naik karena naiknya biaya angkut, dan akan terjadi lonjakan kebutuhan bahan bakar dan kenaikan emisi karbon atau CO2,” katanya.
Baca Juga: Ian Sudiana: Perkuat Alternatif Moda Transportasi Logistik Untuk Benahi Isu Zero ODOL
Dia mengutarakan industri kertas selama ini sudah membahasnya dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bersama asosiasi-asosiasi terkait lainnya dan juga pemerintah mengenai Zero ODOL ini.
Sebelumnya, Dosen Institut Transportasi & Logistik Trisakti dan Pakar Transportasi, Suripno menyampaikan ada 5 langkah yang harus dilakukan pemerintah sebelum menerapkan Zero ODOL ini. Pertama, pemerintah harus tahu dulu informasi dan konsekuensi sebelum memutuskan waktu penerapannya.
Kedua, pemerintah harus mengupayakan insentif. Artinya, kalau pelanggaran itu mau ditekan maka pemerintah harus berusaha mengkondisikan hal hal yang menyebabkan terjadinya pelanggaran. Dan itu bukan dengan melakukan penegakan hukum, tetapi dengan mempengaruhi perilaku seperti bagaimana memberi insentif kepada yang bekerja dengan efisien misalnya.
Baca Juga: Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono: Penyelesaian Masalah Truk ODOL Harus Dibahas Secara Komprehensif
“Jadi, kebijakannya itu bukan kebijakan untuk menghukum, tapi mencegah orang jangan sampai melanggar. Itu yang harus dipikirkan pemerintah untuk mengatasi dampak tadi,” tukasnya.
Selanjutnya, kata Suripno, pemerintah juga harus memikirkan cara bagaimana agar kebijakan Zero ODOL ini tidak berdampak kepada masyarakat dengan adanya kenaikan harga barang. “Jadi, kebijakan Zero ODOL ini jangan nanti kerugian yang ditimbulkannya lebih banyak dibanding manfaatnya,” tandasnya.
Hal ketiga adalah mengubah regulasi agar orang tidak melanggar. Misalkan, untuk kelas jalan, itu harus dinaikkan kapasitas dukungnya agar kendaraan-kendaraan yang berdimensi besar bisa melalui jalan tersebut sehingga orang cenderung tidak melanggar.
“Karena, meskipun kelas jalan setiap kendaraan sudah ditentukan, tapi kalau kelas jalan di ruas jalan itu tidak diubah maka tetap nggak boleh lewat di jalan. Itu berarti PP-nya harus direvisi. Harus dibedakan antara yang berlaku di kendaraan atau di ruas jalan,” katanya.
Keempat adalah sosialisasi. Untuk kepastian hukum, perlu dibuat rambu kelas jalan di semua jalan dan pemerintah harus mensosialisasikan kepada semua pemilik barang dan operator. “Tapi, rambu-rambu jalan itu juga tidak boleh langsung diberlakukan, harus disosialisasikan terlebih dulu, selama sebulan misalnya,” ujarnya.
Langkah kelima baru penegakan hukum. Jadi, lanjutnya, tidak langsung jumping ke penegakan hukum seperti yang dilakukan sekarang. “Sementara, sasaran dan insentifnya saja belum jelas,” ucapnya.***