Ke Gontor Apa yang Kau Cari: Penganiayaan Berbuah Kematian di Perkemahan Kamis dan Jumat
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 06 September 2022 19:36 WIB
Sebab, meski kedua pelaku tak lagi berstatus santri Gontor karena sudah dikembalikan kepada orang tua masing-masing, pihak ponpes tetap tak bisa berkilah, apalagi cuci tangan dengan alasan sudah “bertindak cepat dengan menghukum mereka yang terlibat.”
Baca Juga: Kemenag Luncurkan Ustadzkita untuk Mudahkan Mencari Dai atau Ustadz yang Berikan Ceramah Kebaikan
Memulangkan santri kepada orang tua mereka hanya bisa dilakukan bagi mereka yang terlibat tindak pidana yang tak menyebabkan hilangnya nyawa, seperti mencuri atau merusak fasilitas ponpes. Bukan perbuatan yang menyebabkan hilangnya kehidupan orang lain yang merupakan salah satu dosa besar.
Pengelola ponpes dan ustaz pembimbing di Gontor 1 yang sejak awal tahu kejadian sebenarnya namun menutupi dengan merancang skenario yang mengatakan Aat “wafat akibat terjatuh karena kelelahan mengikuti perkajum”, baik disampaikan melalui telpon atau dikatakan langsung ketika menyerahkan jenazah kepada keluarga, sudah selayaknya dihukum seberat-beratnya oleh Pimpinan PMDG atas dusta yang dibuat dengan sengaja.
Jangan sampai akibat ‘nila setitik rusak susu sebelanga’ terjadi, yang membuat tercemarnya reputasi sohor ponpes Gontor. Atau tercederainya nama baik pesantren secara umum yang jumlahnya kini mencapai 26.975 ponpes dengan 2,65 juta santri (Kemenag, April 2022).
Bulan-bulan ini terakhir pelbagai aroma tak sedap memang berembus dari sejumlah pesantren. Utamanya yang berkaitan dengan kekerasan seksual, dari pencabulan sampai pemerkosaan, yang dilakukan oknum pendidik-pengelola ponpes serta santri senior.
Baca Juga: Peran dan Sifat Sifat Lebah yang Layak Ditiru Dalam Kacamata Islam
Data Komnas Perempuan 2015-2020 menunjukkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menempati peringkat kedua paling rentan perundungan seksual setelah perguruan tinggi. Jika kampus berada di peringkat pertama dengan 27% kejadian, maka pesantren berada di posisi selanjutnya dengan 19 persen. Peringkat ketiga ditempati SMU/SMK dengan 15 persen dilanjutkan oleh SMP dengan 7 persen. Setelah itu kekerasan seksual di lingkungan TK, SD dan SLB, masing-masing 3 persen.
Sekali lagi, ini berdasarkan laporan yang diterima Komnas Perempuan. Berapa data kekerasan seksual yang sebenarnya di lingkungan lembaga pendidikan tak akan pernah diketahui pasti tersebab mayoritas korban memilih bungkam karena satu dan lain hal yang membuat mereka tak nyaman untuk bersuara.
Semua bentuk kekerasan seksual adalah buruk, tak bisa ditolerir. Namun kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan menjadi mengerikan karena predator adalah para senior, bahkan pendidik, yang seharusnya menjaga dan melindungi para korban.