Ke Gontor Apa yang Kau Cari: Penganiayaan Berbuah Kematian di Perkemahan Kamis dan Jumat
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 06 September 2022 19:36 WIB
Apa yang sebenarnya terjadi? Dari pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi, yakni 2 santri, 3 ustaz pembimbing, dan 2 orang dokter, didapatkan rangkuman berikut ini.
Baca Juga: Mom, Tidak Usah Repot Jemur Ini Cara Efektif Hilangin Bau Apek yang Nempel di Kasur
Syahdan pada perkajum, Aat meminjam sejumlah perlengkapan berkemah. Saat acara selesai, ada perlengkapan yang kurang ketika dikembalikan. Ini membuat seorang kawan satu angkatan Aat dan seorang kakak kelasnya marah. Mereka melakukan kekerasan terhadap Aat yang berbuntut datangnya malaikat maut. Kedua santri pelaku penganiayaan berasal dari Padang dan Bangka. Masih belum jelas seperti apa bentuk kekerasan yang dialami Aat dan berapa lama dia sekarat sampai kematian terjadi tiga hari setelah perkajum selesai.
Sangat disayangkan Ponpes Gontor 1 baru mengakui terbuka adanya penganiayaan berat ini setelah dua pekan Aat menjadi korban. Padahal sebagai para pendidik-pendakwah mereka pasti tahu dan hafal luar kepala ayat suci kalam ilahi yang menyatakan bahwa “... barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” (QS 5: 32).
Memang bisa diberikan kontra argumen bahwa Aat bukan korban pembunuhan berencana. Kedua pelaku pasti tidak berniat membunuh kawan mereka yang sama-sama berasal dari Sumatra selain ‘memberi pelajaran’ yang, celakanya, berlebihan, kebablasan, dan tak bisa diperbaiki selama-lamanya. Waktu tak bisa diputar mundur.
Penanganan masalah yang dilakukan PMDG dengan tidak melaporkan sejak awal kasus ini kepada polisi—selain memecat pelaku dan memulangkan kepada orang tua mereka—juga sulit dicerna logika.
Baca Juga: Pakai Cara Ini Biar Bensin Kendaraan Tetap Hemat, Saat Harga BBM Naik
Bahkan menjadi lebih absurd lagi ketika pihak PMDG menyatakan ada tradisi di ponpes—yang disepakati dan ditandatangani orang tua dan para santri--bahwa untuk setiap masalah internal yang terjadi cukup diselesaikan di antara mereka saja. Tak perlu dijadikan masalah hukum yang harus diketahui pihak luar seperti melibatkan kepolisian.
Logika ini bisa dipahami jika meletuo problem internal dalam skala kecil. Namun yang terjadi dalam kasus ini adalah hilangnya jiwa seorang santri. Nyawa seorang pemuda yang dititipkan dan dipercayakan orang tuanya untuk dididik dan dilindungi oleh pengelola ponpes. Bukan dikembalikan dalam keadaan jasad membeku dengan alasan dikarang-karang.
Tersebab amanah menjaga jiwa ini gagal dijalankan, para pengelola ponpes sudah selayaknya memprioritaskan tegaknya keadilan. Bukan menutup-nutupi kejadian dan malah terkesan melindungi para pelaku dengan memberikan hukuman yang jauh dari sepadan.