DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Puisi Esai Denny JA: Tangisan Anakku di Mall Itu…

image
Denny J Tidak Pernah Berhenti Mendukung Kedamaian dalam Perbedaan di Republik Ini Melalui Puisi Esai.

Oleh Denny JA

ORBITINDONESIA – Kali ini Denny JA selaku penulis dan pegiat hak azasi manusia mengungkapkan keprihatinannya terhadap kerusuhan massal berlatar rasis di Ibu Kota Jakarta 1988.

Kerusuhan yang mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto itu menimpa etnis Tionghoa dan kegiatan ekonominya.

Inilah salah satu puisi esai dari Denny JA berkait dengan kerusuhan massal 1988 tersebut:

Tangisan Anakku di Mall Itu…

Singa dan naga menari di langit.

Tarian barongsai semarak di cakrawala.

Melenggok sana dan sini.

Musiknya mengalun, menghanyutkan.

 

Lian, putri kesayangannya, menjadi penari.

Tersenyum padanya dari alam gaib.

 

Bayangan ini sering datang pada Koh Enlai.

Terutama ketika ia rindu pada putrinya: Lian.

 

Entah sudah berapa puluh kali Koh Enlai membaca berita itu.

Tim Gabungan Pencari Fakta menyimpulkan.

Dalam kerusuhan Mei 1998, sebanyak

488 orang mati untuk peristiwa mall terbakar. (1)

 

Itu Mall Klender.

Dulu bernama Yogya Plaza.

Banyak yang mati ditemukan badannya gosong.

Hangus.

Tak dikenali.

Hitam seperti arang.

 

Bagi Koh Enlai, jumlah kematian itu bukan hanya angka.

Karena Lian termasuk yang mati di mall itu.

Saat mati, usia Lian baru 10 tahun.

 

Jeritan dan tangisan Lian itu selalu tergiang:

“Papiii…, Papiiiiii…”

 

Koh Enlai melihat Lian dari kejauhan.

Saat itu Lian sedang berkunjung, menemani pegawainya yang jaga toko.

 

Koh Enlai berada di rumah.

Tetangga melaporkan.

“Koh, Mall dibakar orang.”

Cepat koh. Anakmu ada di sana.“

 

“Ha?,” Koh Enlai terpana.

Kaget. Cemas. Takut.

 

Bergegas Koh Enlai ke sana.

Ia naik motor sekencangnya.

Ngebut.

 

Posisi tokonya di lantai dua.

Koh Enlai sudah sampai  di situ.

Jarak 30 meter dari tokonya.

 

Tapi, api sudah membakar sebagian mall.

Asap di mana-mana.

Mata perih.

Panas.

Pandangan kabur.

Nafas sesak.

Batuk.”

 

“Liaaaaannn, tungguuuuuu.

Papi dataaaaang!!!

 

Koh Enlai teriak sekencang mungkin.

Suaranya terhalangi bunyian yang gaduh.

 

Hiruk pikuk bunyi orang-orang yang sedang menjarah.

Bunyi mereka yang mengatur siasat, mencuri TV, kulkas, perhiasan, sepatu, atau apa saja yang ada di Mall.

 

Tiba-tiba, bedebuk!

Keras sekali terasa lelaki tegap memukulnya.

Koh Enlai masih sadar.

 

Bedebuk. Bedebuk!

 

Berkali-kali lelaki itu memukul Koh Enlai.

Tapi Koh Enlai hanya ingat anaknya.

Ia terus berteriak:

“Liaaaann, Liaaaann,

Papi datang.”

 

Koh Enlai lalu dilempar oleh lelaki itu dari lantai dua.

Jatuh ke lapangan parkir Mall

 

Seketika Koh Enlai merasa pusing alang kepalang.

Ia tak bisa menggerakkan kakinya.

 

Tapi Koh Enlai terus berteriak, sebisanya:

“Liaaaan, Liaaannnn”

 

Koh Enlai pingsan.

 

Ketika sadar, Koh Enlai sudah berada di rumahnya.

 

Adiknya cerita.

Untung koh Enlai jatuh di area parkiran.

Jika tidak, ia pasti mati terbakar.

Atau mati sesak nafas karena asap.

 

Begitu tersadar, koh Enlai teringat anaknya.

“Liaaaaaan, Liaaaann”

 

Sekencang-kencangnya Koh Enlai berteriak.

Ia pun memaksa diri bergerak.

Ia ingin menjemput anaknya di Mall.

 

Tapi kedua kakinya kaku.

 

Tahun ini, tahun 2022, koh Enlai walau sudah lama bisa berjalan,

tapi kakinya pincang sebelah.

 

Hingga kini, luka satu kakinya berbekas.

 

Tapi lebih berbekas luka hatinya.

Lebih menganga trauma tangis anaknya.

Oh, itu luka kerusuhan rasial di Jakarta, Mei 1998.

Alangkah dalamnya.

 

Ketika penjarahan Mall, 14 Mei 1998, usia Koh Enlai 36 tahun.

Ia tak tahu politik.

Tak peduli pula.

 

Bagi Koh Enlai, hidup adalah dagang.

Di luar itu, hidup adalah membesarkan anak.

Membesarkan Lian.

 

Tapi sejak penjarahan mall itu, Koh Enlai mulai banyak membaca.

Ia ingin tahu mengapa orang-orang membakar Mall.

 

Koh Enlai kini tahu.

Dua hari sebelum mall dijarah,

empat mahasiswa Trisaksi ditembak mati.

 

Koh Enlai kini tahu.

Sebelum semua itu,

ada krisis ekomomi di Asia.

 

Sejak lama Koh Enlai bertanya-tanya.

Kebakaran dan penjarahan di Mall itu seperti ada komandonya.

 

Semakin Koh Enlai melek politik, semakin ia bertanya.

Apakah semuanya terkait?

 

Apakah penjarahan mall itu bagian rekayasa membuat suasana chaos?

Ujungnya Suharto jatuh?

 

Koh Enlai tak bisa menjawab.

Setiap memikirkan soal ini,

jeritan dan tangisan Lian selalu datang.

 

Sebulan pertama sejak peristiwa itu, ia sering terbangun di malam hari.

Seolah Lian menjerit meminta tolong.

 

Ketika angin keras menerpa jendela, ia merasa Lian datang.

 

Mall itu tak akan pernah Koh Enlai lupakan.

Ini Mall cukup lengkap.

Pusat belanja.

Ada super market.

Ada bioskop.

Ada tempat bermain anak-anak.

 

Koh Enlai punya toko di sana.

Ia menjual barang elektronik.

Pegawainya yang menjaga.

Istri Koh Enlai sudah wafat ketika Lian berusia tiga tahun.

 

Koh Enlai tinggal berdua saja dengan Lian.

Mereka punya banyak pegawai dan pembantu.

 

Koh Enlai kini tahu.

Hari itu 14 Mei 1998.

Ada sekelompok pria.

Mereka  menyuruh warga untuk masuk ke dalam mall.

 

Mereka keras berteriak:

“Ambil semua barang itu.

Ini mall punya orang Cina.”

 

Koh Enlai kini tahu.

Banyak penjarah menyamar pakai seragam SMA.

 

Mereka melempari toko.

Teriakan riuh rendah.

Mereka acungkan jari dan memberi komando:

 

“Jarah  mall ini.

Serbu...!

Itu orang Cina yang punya.”

 

Warga berhamburan keluar rumah.

Laki-laki, perempuan, tua, dan muda, ikut menjarah.

Ikut merampok.

Apalagi zaman lagi susah.

 

Sebagian warga mencegah aksi penjarahan.

“Hei, jangan mencuri.

Kalian akan dihukum.”

 

Tapi mereka tidak dihiraukan.

 

Kini Koh Enlai tahu.

Tak ada aparat keamanan di sana.

Seolah penjarahan ini sengaja dibiarkan.

 

Di pelataran Mall Klender terlihat aneka barang hasil jarahan.

 

Di dalan mobil.

Di dalam truk.

Di dalam gerobak.

Ada kulkas, televisi, sepatu.

Ada pakaian.

 

Kini Koh Enlai tahu.

Datang sebuah mobil pickup merah.

Mobil itu berhenti  di depan Mall Klender. 

 

Puluhan pria kekar.

Sebagian berambut cepak.

Sebagian berambut gondrong.

 

Wow! Mereka membawa jerigen bensin.

Ada juga yang membawa handy talkie.

 

Wow!

Mereka kumpulkan kasur  dan pakaian.

Semua ditumpuk di bagian tengah Mall.

Lalu mereka tumpahkan bensin.

“Byaaaarrr”

Mereka membakarnya.

Api membesar.

 

Lantai satu mall dipenuh api.

Semua orang di dalam Mall terjebak.

Sulit mencari jalan keluar.

 

Penerangan di dalam Mall dimatikan.

Asap di mana-mana.

Banyak orang sesak nafas.

Jatuh pingsan.

 

Kini Koh Enlai tahu.

Ada orang-orang yang terlatih.

Mereka berdiri di aneka pintu keluar.

Mereka menumpuk  kardus.

Siramkan bensin.

 

Dan byaaaar!

Api menyala.

Pintu keluar tertutup.

 

Semua di dalam Mall terbakar.

Terpanggang.

 

Setiap mengenang ini,

Koh Enlai menjerit:

 

“Ampun ya Tuhan.

Banyak orang di dalam Mall.

Mereka terpanggang.

Mereka gosong.”

Siapa yang tega membunuh orang sebanyak ini?

 

“Jasad mereka tak dapat dikenali.”

 

Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat.

Jumlah korban 488 orang.

 

Melengking tangisan Koh Enlai.

“Anakku ada di sana.

Anakku satu-satunya.”

 

Sejak terbakarnya Mall,

Koh Enlai tak lagi pernah ke sana.

Tokonya ia jual.

Pernah ia coba datang ke Mall.

Tapi kakinya gemetar.

Teriakan dan tangisan Lian, anaknya, kembali terdengar:

“Papiiiiiii, papiii…”

 

Sekali saja Koh Enlai ke sana.

Ia menabur bunga.

Berharap jumpa anaknya.

 

Yang membuat Koh Enlai sedih, Ia tak pernah melihat jasad anaknya.

 

Pemilik toko di sebelahnya bercerita.

Lian melawan orang-orang yang menjarah.

Kata Lian:

“Ini punya papi saya.

Keluar kalian.”

 

Pegawai Koh Enlai selamat karena kabur.

Lian memilih tinggal melawan para penjarah.

 

Koh Enlai mendengar kabar.

Korban dari Mall dikumpulkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.(2)

 

Ia paksakan ke sana.

Adiknya mengantar Koh Enlai.

Karena kakinya masih sakit,

saat itu Koh Enlai hanya duduk di atas kursi roda.

 

Banyak mayat yang gosong.

Tapi Koh Enlai tak menemukan jasad Lian.

 

Ia hanya melihat kantung plastik.

Di dalamnya ada sepatu,

dan sehelai baju.

Itu sepatu Lian.

Itu baju Lian.

 

Tapi jasad Lian dimana?

 

Ada yang kabarkan, Lian tak mati terbakar. Ia hanya mati karena sesak nafas akibat asap.

 

Tapi jasad Lian di mana?

 

Sepatu dan bajunya dikumpulkan petugas.

Tapi  jasad badannya ditumpuk bersama jasad lain.

Entah di mana.

 

Koh Enlai mendengar kabar.

Anaknya dikubur massal.

Kuburannya di TPU Pondok Ranggon.

 

Koh Enlai sudah ke sana.

Ia melihat memang banyak kuburan.

Tapi yang mana kuburan Lian?

 

Bertahun-tahun Koh Enlai berharap.

Lian selamat.

Lian tak mati.

 

Tapi ini sudah 24 tahun.

Jika Lian tak mati, ia ada di mana?

Mengapa Lian tak pulang?

 

Di hari itu.

Febuari tahun 2022.

Koh Enlai merayakan Gong Xi Fa Chai, bersama keluarga adiknya.

 

Ia teringat terakhir kali merayakannya dengan Lian.

 

“Papi, mie ini aku tak potong.

Mie nya panjaaaaang sekali.

Ini supaya umur Papi panjang.

Dan umurku juga panjang. Supaya aku bisa merawat Papi kalau Papi sudah tua.”

 

Dipeluknya Lian.

“Oh Lian, betapa Papi mencintaimu. Papi bangga padamu.”

 

Setiap dipeluk, Lian membalas pelukan Papi dengan mesra.

 

Lian lalu bercerita.

“Papi, aku Ingin menjadi penari barongsai.

Ada singa.

Ada naga.

Dua-duanya penjaga keberuntungan.”

 

Koh Enlai bertanya:

“Lian ingin jadi penari singa atau penari naga?”

 

Jawab Lian:

“Kan aku sudah sering lihat singa di TV.

Singa yang hidup.

Tapi aku tak pernah melihat naga yang hidup.

Aku ingin penari naga saja, Papi. Lebih seru.”

 

Besoknya, Koh Enlai  mengajak Lian membeli lilin naga.

 

“Ini naganya, Lian.

Memang hanya lilin.

Tapi ini membuatmu selalu ingat.

Suatu ketika kau menjadi penari barongsai terkenal.

Penari naga.”

 

Lian senang sekali.

Ia letakkan lilin naga itu

di meja kamar tidur.

Sebelum tidur,

dan ketika bangun,

lilin naga itu yang terlihat pertama kali.

 

24 tahun sudah Koh Enlai berharap Lian masih hidup.

 

Tapi hidup Koh Enlai menjadi tertekan.

Ia berharap sesuatu yang tak kunjung datang.

Bertahun-tahun sudah.

 

Adiknya beberapa kali membawa Koh Enlai menemui psikiater.

 

Sudah tiga psikiater mereka temui.

Semua memberi pandangan sama.

 

Koh Enlai harus mengikhlaskan kepergian Lian.

Jangan lagi menunggu.

Lian pasti sudah wafat.

 

Koh Enlai selalu membantah:

“Jika sudah wafat, mana jasadnya?

Jika aku lihat jasadnya, aku ikhlas.

Aku tak lihat jasadnya. Celaka aku jika anggap anakku mati.”

 

Tapi di hari itu, Koh Enlai berubah.

Semalam ia bermimpi Lian menari barongsai di alam baka.

Lian senyum padanya.

 

Lian memakai gaun putih. Bersih. Bersinar.

Ia memegang lilin naga.

Tapi lilin naganya besar sekali.

Dan naganya hidup.

Meliuk- liuk.

 

Koh Enlai menangis tapi mengerti.

Lian memang sudah tiada.

Lian mengirim mimpi itu, sebagai isyarat.

 

Tanggal 14 Mei 2022.

Tepat 24 tahun terbakarnya Mall Klender.

Koh Enlai mengalah.

 

“Lian, anakku.

Aku tak lagi menunggumu pulang.

Aku menerima dirimu sudah wafat.”

 

Lilin naga yang dulu Koh Enlai beli, untuk Lian, besarnya hanya setapak tangan.

 

Malam itu, tepat jam 24.00,

di beranda rumahnya.

Lilin naga itu dibakar oleh Koh Enlai.

 

“Lian, anakku.

Aku bakar lilin naga ini,

agar ia menguap ke udara, menemuimu.”

 

“Lilin itu bisa menjelma menjadi barongsai naga.

Gunakan barangsoi yang Ayah kirim.

 

Menarilah anakku.

Menarilah di alam baka.

Sepuasmu.

 

Kepada orang- orang,

Koh Enlai bercerita.

Lian sekarang menjadi penari barangsai.

 

Tapi Koh Enlai semakin jarang tidur.

Semakin jarang mandi.

Semakin jarang bekerja.

 

Sampai akhirnya, suatu hari adiknya membawa Koh Enlai ke rumah sakit jiwa.

Koh Enlai pun tinggal di sana.

 

Koh Enlai lupa banyak hal.

Tapi satu hal yang tak pernah ia lupa.

Lian kini menjadi penari barongsai. ***

 

CATATAN.

(1) Tim Pencari Fakta Gabungan mencatata 488 orang mati dalam peristiwa terbakarnya Yogja Plaze, kini bernama Mall Klender.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/02/080000379/tragedi-kebakaran-mal-klender-1998?page=3

(2) Jasad korban mall dikirim ke RS dan dimakamkan secara massal di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur

https://nasional.kompas.com/read/2017/05/14/11065481/19.tahun.kehilangan.anak.korban.tragedi.mei.98.ini.sulit.tidur?page=all

Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan drama di seputar konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku Dayak versus Madura di Sampit (2001), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), Konflik Rasial di Jakarta (Mei 1998), dan konflik pendatang Bali dan penduduk asli di Lampung (2012).

Berita Terkait