DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Senior Fellow Institut Leimena, Alwi Shihab: Intoleransi di Indonesia Tidak Besar Tetapi Cukup Mengkhawatirkan

image
(kiri-kanan): Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Siti Ruhaini Dzuhayatin, Senior Fellow Institut Leimena Dr. Alwi Shihab, dan Direktur Diplomasi Publik Direktorat Jenderal dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Ani Nigeriawati dalam konferensi pers yang diadakan oleh Institut Leimena di Jakarta, Jumat, 5 Juli 2024. (ANTARA/Cindy Frishanti)

ORBITINDONESIA.COM - Senior Fellow Institut Leimena Dr. Alwi Shihab menilai bahwa intoleransi di Indonesia, meski tidak terlalu besar, cukup mengkhawatirkan.

Pada saat yang sama, Alwi Shihab juga menganggap bahwa Indonesia sebagai suatu negara dengan masyarakat plural memiliki prestasi yang cukup baik dalam berinteraksi dengan komunitas plural.

“Tetapi itu tidak berarti bahwa intoleransi di Indonesia itu sudah sirna. Intoleransi di Indonesia, mungkin kalau dibandingkan dengan banyak negara, kadarnya tidak terlalu besar, tetapi cukup mengkhawatirkan,” kata Alwi Shihab dalam konferensi pers yang diadakan Institut Leimena di Jakarta, Jumat, 5 Juli 2024.

Baca Juga: Fakta Penutupan Patung Bunda Maria di Kulon Progo DIY dengan Terpal, Ternyata Bukan Tindakan Intoleran

Mantan menteri luar negeri RI periode 1999-2001 itu mengatakan bahwa dirinya pernah menyarankan agar agama diajarkan secara desksriptif, bukan diajarkan secara dogmatis.

“Pengajaran agama secara deskriptif ini akan mengurangi fanatisme dan membuka wawasan terhadap kontribusi agama-agama lain kepada kemanusiaan, sehingga hal-hal yang sifatnya sensitif tidak perlu kita perdebatkan,” katanya.

Saat menjabat sebagai menteri luar negeri, Alwi Shihab mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia mendirikan Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2000.

Baca Juga: Ngeri, Survei Setara Institute Menyimpulkan Intoleransi di SMA Meningkat

Dia menyebutkan hal yang dilakukan oleh CRCS UGM itu hampir sama dengan hal yang dilakukan oleh Institut Leimena, bagaimana memberi pengetahuan pada masyarakat untuk saling menghormati dan saling berusaha untuk mengetahui ajaran agama yang lain agar bisa membangun kerja sama yang baik dengan cara berkolaborasi.

Mantan utusan khusus presiden untuk Timur Tengah dan OKI (2016-2019) itu mengatakan bahwa diperlukan tiga kompetensi bagi mereka yang ingin berpartisipasi dalam program Lintas Keagamaan dan Lintas Budaya (LKLB).

Pertama, kompetensi pribadi, yaitu seseorang itu perlu mengetahui ajaran agamanya sendiri lebih dulu dan berusaha mengetahui agama lain dengan jujur, sehingga bisa mencari titik temu di antara kedua agama agar bisa menghindari konflik.

Baca Juga: Ibadah Jemaat GMS di Deli Serdang Dibubarkan Paksa Kaum Intoleran

Kedua, kompetensi kerja sama yaitu seseorang itu perlu mempunyai kompetensi untuk bekerja sama dengan pihak lain.

Halaman:
1
2
Sumber: Antara

Berita Terkait