Senior Fellow Institut Leimena, Alwi Shihab: Intoleransi di Indonesia Tidak Besar Tetapi Cukup Mengkhawatirkan
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Sabtu, 06 Juli 2024 00:20 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Senior Fellow Institut Leimena Dr. Alwi Shihab menilai bahwa intoleransi di Indonesia, meski tidak terlalu besar, cukup mengkhawatirkan.
Pada saat yang sama, Alwi Shihab juga menganggap bahwa Indonesia sebagai suatu negara dengan masyarakat plural memiliki prestasi yang cukup baik dalam berinteraksi dengan komunitas plural.
“Tetapi itu tidak berarti bahwa intoleransi di Indonesia itu sudah sirna. Intoleransi di Indonesia, mungkin kalau dibandingkan dengan banyak negara, kadarnya tidak terlalu besar, tetapi cukup mengkhawatirkan,” kata Alwi Shihab dalam konferensi pers yang diadakan Institut Leimena di Jakarta, Jumat, 5 Juli 2024.
Mantan menteri luar negeri RI periode 1999-2001 itu mengatakan bahwa dirinya pernah menyarankan agar agama diajarkan secara desksriptif, bukan diajarkan secara dogmatis.
“Pengajaran agama secara deskriptif ini akan mengurangi fanatisme dan membuka wawasan terhadap kontribusi agama-agama lain kepada kemanusiaan, sehingga hal-hal yang sifatnya sensitif tidak perlu kita perdebatkan,” katanya.
Saat menjabat sebagai menteri luar negeri, Alwi Shihab mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia mendirikan Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2000.
Baca Juga: Ngeri, Survei Setara Institute Menyimpulkan Intoleransi di SMA Meningkat
Dia menyebutkan hal yang dilakukan oleh CRCS UGM itu hampir sama dengan hal yang dilakukan oleh Institut Leimena, bagaimana memberi pengetahuan pada masyarakat untuk saling menghormati dan saling berusaha untuk mengetahui ajaran agama yang lain agar bisa membangun kerja sama yang baik dengan cara berkolaborasi.
Mantan utusan khusus presiden untuk Timur Tengah dan OKI (2016-2019) itu mengatakan bahwa diperlukan tiga kompetensi bagi mereka yang ingin berpartisipasi dalam program Lintas Keagamaan dan Lintas Budaya (LKLB).
Pertama, kompetensi pribadi, yaitu seseorang itu perlu mengetahui ajaran agamanya sendiri lebih dulu dan berusaha mengetahui agama lain dengan jujur, sehingga bisa mencari titik temu di antara kedua agama agar bisa menghindari konflik.
Baca Juga: Ibadah Jemaat GMS di Deli Serdang Dibubarkan Paksa Kaum Intoleran
Kedua, kompetensi kerja sama yaitu seseorang itu perlu mempunyai kompetensi untuk bekerja sama dengan pihak lain.
Ketiga, kompetensi kolaborasi yaitu seseorang bisa berkolaborasi untuk membangun suatu masyarakat yang harmonis dan inklusif.
“Tidak bisa diragukan bahwa semua ini, semua usaha untuk menciptakan masyarakat yang plural tetapi inkusif, tidak bisa tidak harus melalui pendidikan. Tanpa pendidikan, kita jauh di belakang untuk mencapai cita-cita ini,” tegasnya.
“Pendidikan adalah kata kunci, tanpa pendidikan sulit untuk kita menembus pemikiran orang-orang yang terindikasi atau terpengaruh oleh pandangan-pandangan radikal, yang semua itu juga didasarkan kepada tokoh-tokoh agama yang keras,” katanya.
Hasil survei pada 2018, katanya, memperlihatkan bahwa sekitar 50 persen guru agama terindikasi intoleran, yang kemudian hasil survei itu menginspirasi Institut Leimena untuk menyelenggarakan program LKLB tersebut.
“Ini bahaya sekali. Kalau guru agama intoleran, mereka (murid) ini akan menjadi pemimpin-pemimpin kita di pada masa yang akan datang, apa jadinya Indonesia kalau tidak kita secara kolektif bertanggung jawab untuk mengatasi hal ini,” ujarnya.
Baca Juga: Berkampanye di Bali, Cak Imin Tepis Tudingan Anies Baswedan Intoleran
Alwi Shihab menekankan bahwa semua pihak, termasuk kementerian, universitas, dan masyarakat bertanggung jawab atas keselamatan bangsa Indonesia itu sendiri.
“Well-being of our nation ini harus kita ciptakan melalui hubungan yang saling menghormati, bisa menerima perbedaan, dan tidak menghakimi sendiri,” tegasnya.
Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Institut Leimena untuk menyelenggarakan Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) pada 10-11 Juli 2024 di Jakarta dengan tema “Multi-faith Collaborations in an Inclusive Society”.
Konferensi tersebut berfokus pada pemahaman akan kolaborasi multi agama dimana orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan bisa saling belajar dan bekerja sama, dengan tetap mengakui dan menghormati perbedaan agama dan kepercayaan mereka, dalam mengatasi masalah-masalah yang menjadi perhatian bersama.***