DECEMBER 9, 2022
Teknologi

Rinaldi Napitupulu: Non Terrestrial Network dan Masa Depan Serat Optik dan Seluler di Indonesia

image
Elon Musk, pemilik Starlink (Foto: Antara)

ORBITINDONESIA.COM - Kehadiran operator satelit Starlink di Indonesia melalui kerja sama penyediaan internet untuk lebih dari 4000 Puskesmas menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan pelaku bisnis terkait. Pertanyaan tentang dampaknya bagi bisnis berbasis serat optik dan seluler menjadi semakin menguat.

Bahkan, ada juga yang mempertanyakan apakah pemberian izin ini sudah tepat baik dari segi waktu maupun kebolehan. Sebagai negara yang bergerak maju, kebutuhan digitalisasi menjadi suatu kenyataan serta kebutuhan yang tidak dapat dihindari.

Salah satu penunjang utama digitalisasi adalah ketersediaan jaringan baik berbentuk serat optik maupun seluler, atau bentuk lain seperti satelit kecil yang ditawarkan oleh Starlink.

Baca Juga: Ramalan Nostradamus tentang Misi Pergi ke Mars dan Elon Musk

Mungkin ada yang bertanya apakah satelit milik pelaku bisnis Indonesia seperti Telkom-3S atau Telkom-4 (Merah Putih) atau Satelit Satria dapat digunakan sebagai alternatif. Secara umum, satelit-satelit ini memiliki fungsi yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh Starlink.

Telkom3S dan Telkom-4 adalah satelit geostasioner (GEO) yang beroperasi pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer di atas ekuator dan memberikan layanan komunikasi yang stabil dengan cakupan luas dan kapasitas besar, tetapi dengan latensi yang lebih tinggi dibandingkan satelit LEO seperti Starlink.

Kelebihan satelit GEO adalah kemampuan mereka untuk menutupi area yang sangat luas dengan satu satelit, menjadikannya ideal untuk penyiaran televisi dan layanan komunikasi yang membutuhkan cakupan yang konsisten di wilayah geografis yang luas.

Baca Juga: Elon Musk: Ada Penyalahgunaan Hukum di Tengah Konflik tentang Sensor dan Disinformasi di Brasil

Satelit Satria, yang merupakan proyek pemerintah melalui BAKTI, juga dirancang untuk menyediakan internet di wilayah terpencil dan diharapkan dapat membantu mengurangi kesenjangan digital di Indonesia.

Namun, solusi yang ditawarkan oleh Starlink berbeda karena menggunakan konstelasi satelit LEO yang menawarkan latensi lebih rendah, yang sangat penting untuk aplikasi yang membutuhkan respons waktu nyata seperti telemedisin di Puskesmas.

Starlink juga memiliki keunggulan dalam hal jumlah satelit yang banyak dan skala ekonomis yang lebih murah berkat dukungan fasilitas terintegrasi dari pabrikasi satelit hingga peluncuran.

Baca Juga: CEO Tesla Elon Musk Tiba di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai Bali untuk Resmikan Starlink Bersama Jokowi

Transmisi data medis di Puskesmas memerlukan sistem rujukan dengan file khusus seperti citra medis beresolusi tinggi dalam format DICOM (Digital Imaging and Communications in Medicine) yang memerlukan mekanisme transmisi data dengan tingkat reliabilitas tinggi.

Starlink menawarkan keunggulan dibandingkan operator LEO lainnya dengan jumlah satelit yang lebih banyak dan skala ekonomis yang lebih murah, terutama karena dukungan fasilitas terintegrasi dari pabrikasi satelit hingga peluncuran.

Kebutuhan jaringan untuk digitalisasi kesehatan akan menciptakan optimalisasi di bidang kesehatan. Kebutuhan mendesak ini seharusnya bisa menjadi tanggung jawab dan peran BAKTI.

Baca Juga: Elon Musk Saksikan Uji Coba Starlink di Puskesmas Denpasar Bali

Namun, harus diakui bahwa selain masalah pengadaan yang bermasalah sebelumnya, solusi terintegrasi serta kapasitas yang dimiliki Starlink mampu memberikan kelebihan bagi digitalisasi kesehatan di Indonesia, termasuk biaya yang relatif lebih ekonomis untuk penggunaan khususnya di daerah terdepan, tertinggal, dan terluar yang belum tersedia.

Sejalan dengan penjelasan di atas, dapat dimengerti latar belakang mengapa Pemerintah (dalam hal ini Kominfo) memberikan izin penyelenggaraan termasuk pemberian izin penggunaan frekuensi kepada Starlink.

Namun, kekhawatiran terkait dampak kehadiran Starlink seperti tergesernya bisnis lokal termasuk Telkom dan ISP lainnya, serta potensi kesalahan penggunaan jaringan yang sulit dikendalikan (termasuk oleh teroris) atau kebocoran data, perlu diantisipasi.

Baca Juga: Henry Subiakto: Starlink Berbahaya Bagi Indonesia?

Semua ini dapat mengakibatkan rentannya ketahanan nasional atau berkurangnya kedaulatan nasional. Untuk menjawab hal ini, perlu dipahami bahwa kehadiran alternatif atau solusi baru selain dapat membuka pasar baru juga dapat menggerus pasar lama.

Sebagai contoh, transportasi online seperti Gojek dan Grab terhadap taksi konvensional seperti Blue Bird. Hal ini sejalan dengan pemikiran Joseph Schumpeter tentang "Creative Destruction" yang muncul akibat hadirnya teknologi atau model bisnis baru.

Karenanya, pertentangan apakah memperbolehkan atau melarang perlu dikaji lebih dalam. Ke depan akan ada konsep Non Terrestrial Network (NTN) yang dapat digabungkan dengan Terrestrial Network (TN), sehingga baik satelit kecil maupun geo satelit dapat tergabung dengan seluler dan serat optik menciptakan jaringan terpadu.

Baca Juga: Putu Indah Savitri: Kehadiran Starlink dan Pentingnya Menjaga Kedaulatan Siber

Keseimbangan baru ini akan menguntungkan pengguna dan memperbesar kemampuan digitalisasi di berbagai bidang. Namun, upaya ini akan mempengaruhi bisnis telekomunikasi jika hanya mengandalkan regulasi. Regulasi harus mengikuti dan mengatur kebutuhan pasar menuju keseimbangan baru.

Sulit dibayangkan jika proteksi digunakan hanya untuk melindungi bisnis pemilik teknologi lama. Jauh lebih bijak jika proses regulasi juga mempertimbangkan agar operator atau industri Indonesia bersiap memanfaatkan pasar yang semakin besar dengan teknologi lebih maju.

Melihat dari perspektif ini, pasar pemerintah dan yang terkait dengan pemerintah seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan industri lokal satelit kecil dan Direct to Satellite. Ini termasuk hadirnya operator konstelasi satelit lokal dan kemampuan membangun industri penopang satelit itu sendiri.

Fokus tidak hanya pada menutup persaingan tetapi juga mengembangkan industri lokal sehingga pemain lokal memiliki kesempatan mendukung ketahanan dan kedaulatan nasional di bidang NTN, serat optik, dan seluler.

Regulasi jelas diperlukan, tetapi memanfaatkan kemampuan luar untuk mempercepat dan memperkuat kemampuan dalam negeri juga sangat perlu. Sehingga, ketika keseimbangan baru terjadi, pelaku bisnis dapat menguasai teknologi baru atau bertransformasi menguasai teknologi baru.

*Rinaldi Napitupulu, alumnus Elektro FTUI. ***

Berita Terkait