Rinaldi Napitupulu: Non Terrestrial Network dan Masa Depan Serat Optik dan Seluler di Indonesia
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Senin, 27 Mei 2024 14:56 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kehadiran operator satelit Starlink di Indonesia melalui kerja sama penyediaan internet untuk lebih dari 4000 Puskesmas menjadi topik pembicaraan hangat di kalangan pelaku bisnis terkait. Pertanyaan tentang dampaknya bagi bisnis berbasis serat optik dan seluler menjadi semakin menguat.
Bahkan, ada juga yang mempertanyakan apakah pemberian izin ini sudah tepat baik dari segi waktu maupun kebolehan. Sebagai negara yang bergerak maju, kebutuhan digitalisasi menjadi suatu kenyataan serta kebutuhan yang tidak dapat dihindari.
Salah satu penunjang utama digitalisasi adalah ketersediaan jaringan baik berbentuk serat optik maupun seluler, atau bentuk lain seperti satelit kecil yang ditawarkan oleh Starlink.
Baca Juga: Ramalan Nostradamus tentang Misi Pergi ke Mars dan Elon Musk
Mungkin ada yang bertanya apakah satelit milik pelaku bisnis Indonesia seperti Telkom-3S atau Telkom-4 (Merah Putih) atau Satelit Satria dapat digunakan sebagai alternatif. Secara umum, satelit-satelit ini memiliki fungsi yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh Starlink.
Telkom3S dan Telkom-4 adalah satelit geostasioner (GEO) yang beroperasi pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer di atas ekuator dan memberikan layanan komunikasi yang stabil dengan cakupan luas dan kapasitas besar, tetapi dengan latensi yang lebih tinggi dibandingkan satelit LEO seperti Starlink.
Kelebihan satelit GEO adalah kemampuan mereka untuk menutupi area yang sangat luas dengan satu satelit, menjadikannya ideal untuk penyiaran televisi dan layanan komunikasi yang membutuhkan cakupan yang konsisten di wilayah geografis yang luas.
Baca Juga: Elon Musk: Ada Penyalahgunaan Hukum di Tengah Konflik tentang Sensor dan Disinformasi di Brasil
Satelit Satria, yang merupakan proyek pemerintah melalui BAKTI, juga dirancang untuk menyediakan internet di wilayah terpencil dan diharapkan dapat membantu mengurangi kesenjangan digital di Indonesia.
Namun, solusi yang ditawarkan oleh Starlink berbeda karena menggunakan konstelasi satelit LEO yang menawarkan latensi lebih rendah, yang sangat penting untuk aplikasi yang membutuhkan respons waktu nyata seperti telemedisin di Puskesmas.
Starlink juga memiliki keunggulan dalam hal jumlah satelit yang banyak dan skala ekonomis yang lebih murah berkat dukungan fasilitas terintegrasi dari pabrikasi satelit hingga peluncuran.
Transmisi data medis di Puskesmas memerlukan sistem rujukan dengan file khusus seperti citra medis beresolusi tinggi dalam format DICOM (Digital Imaging and Communications in Medicine) yang memerlukan mekanisme transmisi data dengan tingkat reliabilitas tinggi.