Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (12): Nyai Dedeh Mencari Kunang-kunang
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 18 Mei 2024 18:01 WIB
“Dengar kata Kiai:
Jangan jadi rumput.
Kau selalu diinjak-injak.
Jadilah pohon.
Itu Tuan Belanda kaya.
Jangan mati akal.” (1)
Kata Kiai itu seperti mantra.
Menancap di memori.
Dedeh terus menangis.
Prabu terdiam lesu.
Memandang kekasihnya.
Ia tak berdaya.
Di luar rumah Kiai,
di kebun itu,
Dedeh dan Prabu,
berpelukan, bertukar air mata.
Dedeh dan Prabu terpana.
Banyak kunang-kunang terbang di kebun.
Memberi cahaya.
“Aku akan menunggumu,” janji Prabu.
Selalu.
Aku berjanji di depan kunang-kunang.
Cintaku tak padam.”
Dedeh tertawa.
Mereka menangis kembali.
Tahu perpisahan segera datang.
Dedeh segera menjadi gundik Tuan Belanda.
Mereka berpelukan.
Pelukan yang terakhir.
Dedeh juga katakan itu:
“Cintaku terus menyala.
Aku juga janji di depan kunang-kunang.”
Zaman berganti.
Dedeh menjadi gundik Tuan Belanda.
Mereka pindah ke Batavia.
Dedeh punya anak.
Satu anak.
Dua anak.
Selalu ia ingat nasehat Kiai.
Jangan jadi rumput,
jika tak ingin diinjak.