KH Mukti Ali Qusyairi: NU dan Muhammadiyah Pernah Gunakan Metode yang Sama untuk Tentukan Hari Besar Keagamaan
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Jumat, 29 Maret 2024 09:14 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Dalam sejarahnya, ternyata NU dan Muhammadiyah pernah menggunakan metode yang sama untuk menentukan hari-hari besar keagamaan, seperti penentuan awal Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha. Hal itu diungkapkan KH Mukti Ali Qusyairi, lulusan Universitas Al-Azhar Mesir.
KH Mukti Ali Qusyairi adalah pembicara dalam diskusi tentang duduk perkara hisab dan rukyat. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 28 Maret 2024.
Diskusi yang menghadirkan KH Mukti Ali Qusyairi itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Webinar itu dipandu oleh Anick HT dan Amelia Fitriani.
Baca Juga: Kapan Ramadan 2023 Tanggal Berapa, Ini Ketetapan Hasil Hisab Versi Muhammadiyah
Dalam diskusi itu, Mukti Ali Qusyairi mengutip buku “Fatwa-Fatwa Tarjih, Tanya Jawab Agama,” yang dikeluarkan oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (1993). Muhammadiyah banyak mengutip hadis tentang rukyat.
Saat sekarang, Muhammadiyah biasanya diketahui menggunakan metode hisab (perhitungan astronomis matematis), sedangkan NU menggunakan rukyat (observasi langsung) untuk menentukan awal puasa Ramadan.
“Ada yang menarik. Pada kasus tahun 1993 ternyata metodologi Muhammadiyah sama dengan NU. Ketentuan hisab yang ada dalam Al Quran ditaksis atau dispesifikasikan dengan hadis-hadis tentang rukyat,” tutur Mukti Ali Qusyairi.
“Metode Muhammadiyah pada 1993 ini sama persis dengan NU. Karena posisi hadis adalah penafsir atau penjelas ayat Al Quran. Untuk ibadah-ibadah yang lain juga begitu. Puasa ini kan ibadah,” ujarnya.
Menurut dosen Pascasarjana Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal ini, tiap tahun isu hisab dan rukyat ini sebetulnya adalah masalah khilafiyah, tetapi selalu diberitakan masif oleh media. Mungkin karena melibatkan dua ormas besar, NU dan Muhammadiyah.
“Tapi dilihat dari kenyataan tiap tahun, ternyata perbedaan itu bukan hanya terjadi antara NU dan Muhammadiyah, tetapi juga ada kelompok-kelompok lain. Misalnya, tarekat Naqsyabandiyah,” ungkapnya.
Ditambahkannya, tarekat Naqsyabandiyah itu di luar Jawa memiliki metodologi sendiri, yang berbeda dengan NU dan Muhammadiyah.
“Soal metode hisab dan rukyat, sudah banyak yang tahu. Tetapi yang menarik ada metode spiritual, yang digunakan oleh tarekat Naqsyabandiyah,” ungkap Mukti Ali Qusyairi.
Dalam penentuan awal puasa Ramadan, Naqsyabandiyah terkadang jauh lebih awal tanggal puasanya daripada NU atau Muhammadiyah. Bisa lebih dulu 3 hari, bahkan 7 hari sebelumnya.
Ternyata, kata Mukti Ali Qusyairi, tarekat Naqsyabandiyah berbeda dalam menafsirkan kata “rukyat” itu. Kalau NU, Muhammadiyah dan kelompok mainstream menafsirkan kata “rukyat” dengan melihat langsung dengan mata secara fisik.
Sedangkan kalau Naqsyanbandiyah, “rukyat” itu adalah pandangan seorang mursyid dengan menggunakan mata batinnya. Jadi menggunakan metode penyingkapan spiritual atau kasyaf. “Perbedaan metodologi mengakibatkan perbedaan hasil,” pungkas Mukti Ali Qusyairi. ***
.