DECEMBER 9, 2022
Kolom

Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu

image
Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (Foto: koleksi pribadi)

Seperti diketahui, belakangan publik dihebohkan anomali perhitungan suara dalam sistem rekapitulasi online Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kejanggalan demi kejanggalan yang bermunculan itu, mendorong berbagai pihak untuk mengecek satu persatu data C1. Hasil dari data tabulasi di sistem pemilu.

Dari berbagai klarifikasi diakui terdapat adanya penggelembungan suara, serta ketidaksempurnaan pembacaan dokumen C1 yang diunggah melalui Sirekap.

Baca Juga: Abustan: Terbuka - Tertutup, Apa yang Kau Cari

Oleh sebab itu, berbagai anomali pemilu, menunjukkan bahwa kata "suara rakyat suara tuhan" mengalami pengkerdilan makna yaitu ketika tidak lagi di posisikan pada tempat yang "proporsional"  karena rakyat mayoritas mengalami degradasi, ketimbang orang-orang mampu (pengusaha), pejabat pemerintah,.atau elite pada umumnya yang jumlahnya tidak banyak dari populasi.

Kini populer di istilahkan jumlahnya 1/3 yang menguasai perekonomian bangsa Indonesia.

Maka, slogan atau jargon demokrasi sejatinya memang "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" hanya dalam teori ideal di atas kertas dan sangat mulia kedengarannya, tetapi pelaksanaannya amat dusta dan omong kosong.

Baca Juga: Dr Abustan: Tegak Lurus Konstitusi

Apalagi jika mencermati/membandingksn pelaksanaan pemilu yang masih jauh dari Pemilu Luber dan Jurdil.

Hal ini menunjukkan ada proses relasi kuasa yang sesungguhnya mengarah ke fenomena kemunduran politik.

Gejala ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas demokrasi yang diakibatkan oleh hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban di tengah kemajuan tekhnologi yang serba canggih. 

Baca Juga: Dr Abustan: Pemilu dan Kualitas Pemimpin

Happy ending pemilu

Halaman:
1
2
3
4

Berita Terkait