Abustan: Terbuka - Tertutup, Apa yang Kau Cari
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Senin, 16 Januari 2023 04:21 WIB
Oleh Dr H.Abustan, SH.MH, Pengajar Demokrasi & HAM Universitas Islam Jakarta (UID)
ORBITINDONESIA - Potret buram masih mewarnai perpolitikan di Tanah Air. Pasalnya, konfigurasi sistem pemilu legislatif terus dilakukan.
Bongkar - pasang, gonta - ganti antara sistem proporsional terbuka dan proporsional tertutup yang merupakan salah satu instrumen pendukung dalam pelaksanaan/pemilihan calon legislatif di semua tingkatan (DPRD Kota/Kabupaten - DPR RI).
Pertanyaannya, what happened, apa yang terjadi?
Ibarat sepak bola di Tanah Air, induk organisasi (PSSI) terus bolak balik melakukan pergantian pelatih. Fenomena yang terjadi pelatih asing pelatih lokal terus gonta ganti sejak dahulukala sampai sekarang.
Sementara di sisi lain, prestasi sepak bola Indonesia tak kunjung mengembirakan meskipun itu di level Asia tenggara. Skor paling aktual (terbaru) Indonesia bertekuk lutut sama tim Vietnam 0 - 2.
Alih - alih prestasi justru yang ada adalah tragedi sepak bola yang menelan korban 100 lebih di stadion "Kanjuruhan" malang yang kini di kenang dan dicatat sebagai pristiwa kemanusiaan dan pelanggaran HAM dalam dunia sepak bola.
Begitu pun sistem demokrasi kita, jangankan melahirkan legislator yang berprestasi atau berkualitas, tetapi justru mempertontonkan berbagai prilaku buruk, dengan banyaknya anggota DPRD dan anggota DPR RI melakukan prilaku tercela tidak terpuji.
Baca Juga: Kai Havertz Selamatkan Muka Chelsea di Hadapan Pendukung Usai Taklukkan Crystal Palace
Seperti berbagai kasus kekerasan, penipuan, pelecehan seksual, menonton film porno dalam ruangan sidang, dan OTT tindak pidana korupsi.
Akan tetapi, aneh bin ajaib, karena yang acapkali di kutak - katik dan diperdebatkan adalah kepada hal - hal yang menurut hemat saya tidaklah "substansial", sebab hanya assesoir dari prosedur pemilu yaitu sebuah cara atau model pencoplosan caleg.
Dimana pola sistem tertutup yang dilakukan pada Pemilu 1999 (pasca reformasi) pemilih (konstituen) mencoblos tanda gambar partai. Kemudian pola ini (tertutup) dianggap tak mencerminkan nilai demokrasi.
Sehingga Pemilu 2004 diganti dengan sistem proposional terbuka, yaitu pemilih mencoblos (mencontreng) langsung nama/foto caleg yang dikehendaki. Hal ini dianggap lebih aspiratif dan demokratis karena memilih sesuai yang dikehendaki pemilih (pemegang hak suara).
Baca Juga: Jatuh di Nepal, Usia Pesawat Yeti Airlines 15 Tahun, Hanya Punya Transponder Tua
Dua opsi itu, kini terus menghiasi diskursus wacana perpolitikan dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Dalam konteks dan konten kedua opsi tersebut, kami tak menyoal salah satu diantaranya yang terbaik. Apakah jika kembali lagi ke proporsional tertutup akan terjadi kemunduran demokrasi, polarisasi atau kemandekan demokrasi ?
Itu merupakan ranah pelaksana pemilu dengan betul - betul melakukan telaah/kajian dan simulasi yang matang.
Hasilnya bangsa ini menemukan suatu konstruksi bangunan sistem yang lebih perfect (sempurna) jauh dari tindakan spikulatif, eksperimen aturan, dan terkesan prematur.
Realitas paradoks sistem pemilu ini haruslah secepatnya diselesaikan, mengingat pelaksanaan pemilu tinggal sekitar setahun lagi 2024.
Sehingga Parpol sebagai pilar demokrasi benar - benar menyiapkan caleg - caleg yang berkualitas, bermartabat dan amanah.
Akhirnya, politik sejatinya, kata Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, dimainkan orang yang memiliki moralitas tinggi. Politik adalah seni untuk mencapai tujuan tertinggi , yakni kebaikan bersama dan kesejahteraan bersama.
Politik bukan alat untuk menyalurkan "syahwat liar" nan primitif, sebagaimana lazim nya orang yang mabok kekuasaan, sehingga memunculkan praktek: homo homini lupus.
Jakarta, 15 Januari 2023.***