DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Bagas Pujilaksono WH: Saatnya BRIN Dievaluasi

image
Penandatanganan kerjasama BRIN dengan lembaga penelitian ZMT dan Artec di Bremen, Jerman

 

ORBITINDONESIA.COM - Sudah empat tahun berjalan, kinerja institusi BRIN belum menunjukkan hasil nyata bagi bangsa dan negara.

Beberapa hari yang lalu, saya melewati BATAN Yogyakarta yang sekarang menjadi BRIN. I feel sorry. Dahulu ketika saya masih mahasiswa di Departemen Teknik Nuklir, FT-UGM, 1984-1988, hampir setiap hari saya berada di Batan Yogya, kuliah dan praktikum. Sekarang tinggal kenangan.

Saya berulang kali mengingatkan, bahwa BATAN, LAPAN, LIPI, BPPT, dan Litbang Kementerian-kementerian, masing-masing punya karakteristik sendiri-sendiri. Ketika orang-orang itu dicabut dari tempat lama dan dikantongi dalam wadah yang namanya BRIN, maka yang terjadi adalah:

Baca Juga: Kapal Selam Wisata Titanic Ditumpangi Miliader Inggris Hilang Kontak, Pencarian Besar Besaran Dilakukan

1. Merusak jaringan yang sudah dibangun bertahun-tahun oleh seorang peneliti.
2. Merusak tradisi keilmuan seorang peneliti.
3. Memutus mata rantai akses penggunaan peralatan laboratorium.

Mari kita lihat di luar sana, tidak ada fenomena peleburan lembaga-lembaga penelitian seperti BRIN. Jerman hingga hari ini masih eksis dengan Max-Plank Institut, Deutsche Forschung Gemainschaft, Deutsche Zentrum fuer Raum und Luftfahrt, Forschung Zentrum Juelich, dan lain-lain.

Mereka tidak pernah dilebur, karena Pemerintah Jerman paham betul dengan istilah tradisi keilmuan. Lembaga-lembaga yang saya sebutkan di atas, saling bersinergi, dalam karakteristiknya masing-masing membangun Jerman. Zukunft ist unsere Aufgabe.

Baca Juga: Kapal Selam Wisata Titanic Ditumpangi Miliader Inggris Hilang Kontak, Pencarian Besar Besaran Dilakukan

Saya pernah mendengar dari berbagai sumber soal berdirinya BRIN. Argumen pemerintah lucu dan keliru.

Di satu sisi, pemerintah tidak mampu memanfaatkan kepakaran peneliti-peneliti yang ada di dalam negeri. Di lain hal, pemerintah menyuruh diaspora untuk kembali ke tanah air. Untuk apa? Jadi pengangguran?

Jangan selalu berpikir pragmatis dan liberal. Konsep investasi keilmuan, juga harus dipahami.

Kalau saya boleh memilih, dengan dalih tetap produktif dalam melakukan penelitian, saya memilih tetap tinggal di Ecole des Mines de Saint-Etienne (EMSE), Prancis, tempat saya postdoc dahulu.

Baca Juga: Kebersamaan Tuan Guru Bajang dan Ganjar Pranowo, Beginilah seharusnya Relasi Ulama-Umaro

Ini bukan persoalan nasionalisme, tapi lebih pada fakta dan realita. Pemerintah tidak becus memanfaatkan kepakaran peneliti-peneliti jagoan yang ada di dalam negeri. Tidak usah jauh-jauh menengok Jerman, lihat saja Tiongkok.

Dikotomi riset terapan dan riset dasar adalah omongan anak kecil yang baru belajar berjalan kemarin sore.

Organisasi Lembaga Penelitian itu harus ramping dan flexible secara organisasi. Sedang BRIN terlalu besar, menjadi inersia tinggi (lembam) dan amorphous.

Sudah saatnya, secara kritis, BRIN, dievaluasi, agar kemanfaatannya bagi bangsa dan negara bisa dibanggakan ke depan.

Terimakasih.

Ir. KPH. Adipati, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Hamengkunegara, M. Sc., Lic. Eng., Ph.D. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Seniman/Budayawan Yogyakarta. ***

Berita Terkait