Jejak Pangeran Diponegoro Dalam Tahun Pengasingan dan Kematian
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 13 Agustus 2022 11:37 WIB
Pada 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World).
Sementara di Makassar, Diponegoro terlihat lebih produktif, dirinya memang diperbolehkan untuk menulis naskah-naskah Jawa yang disalin baginya dengan biaya pemerintah.
Pangeran Hendrik, putra bungsu Raja Belanda Willem II, ketika kunjungan ke Fort Rotterdam mencatat bahwa Diponegoro menghabiskan banyak waktu untuk menyalin ayat-ayat Al-Qur'an.
Pada tahun 1938, Diponegoro juga mulai menyusun dua naskah lain dengan aksara pegon, berjudul Kisah Ratu Tanah Jawa dan Hikayat Tanah Jawa. Kedua buku ini ditulis dalam bahasa Jawa, tidak seperti irama pada sastra babad karyanya.
Baca Juga: Denny JA: Peran Slamet Rahardjo, Pelestari Cagar Budaya Salatiga, Mirip Periwayat Epik Gilgamesh
Ketika Diponegoro mulai dihormati oleh penduduk Makassar, lebih lagi dikalangan orang nasionalis dan komunis, ternyata keluarga Diponegoro tidak bisa merawat makamnya. Pada 1920 ada kabar bahwa pemakaman itu tidak berurus.
"Bagaikan tumpukan batu-batu kotor berlumut, pagar tembok rendah yang putih kusam retak-retak, dan sisa-sisa tanaman yang telah membusuk," ujar Samuel Kalff dalam Diponegoro Strefdag, Indische Verlofganger.
Akan tetapi setelah masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, tempat itu mendapat penghormatan secara nasional. Pada bulan Januari 1955, ketika peringatan 100 tahun kematian Pangeran Diponegoro, situs makam itu dipugar oleh pejabat setempat.
Pidato peringatan disampaikan oleh Presiden Soekarno dan dua menterinya. Kemudian pada 10 November 1973, di era Orde Baru Soeharto, Diponegoro ditetapkan sebagai pahlawan nasional.
Baca Juga: Merajai YouTube, BTS Ditonton 26,7 Miliar Kali, Geser Justin Bieber dan Ed Sheeran