Goenawan Mohamad: Takhayul
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 13 Mei 2023 09:05 WIB
Itu sebabnya monotheisme dengan mudah melahirkan gerakan "pemurnian": doktrin Protestan menafikan kelaziman orang Katolik di Italia Selatan yang memasang gambar Maria di dalam ceruk di sudut dinding, ajaran Wahabi melarang kelaziman orang muslim di Jawa Tengah yang datang ke makam suci untuk mencari berkah. Yang disembah hanya Allah.
Dalam hal ini, gerakan "pemurnian"—seperti sering dikatakan para sejarawan agama. --sama semangatnya dengan gerakan modernisasi: takhayul dianggap mengacau, sebab theologi harus tertib, iman harus lurus, apa yang dituju harus jelas.
Seperti rencana pembangunan ekonomi: ada pemikiran dasar, ada target yang akurat, ada hasil yang bisa dipastikan.
Tapi akan di mana akhirnya rasa tergetar oleh yang tak terduga-duga? Akan di mana rasa gairah terhadap apa yang tak terkendali? Bila semua harus dikontrol, juga khayal dan pesonanya, yang akan terhampar hanya sebuah gurun.
Baca Juga: SEA Games 2023: Prediksi dan Link Streaming Indonesia Melawan Vietnam, Ujian Sesungguhnya Timnas Demi Emas
Itulah yang akhirnya dihadirkan oleh Rahib Therapion dalam salah satu “Cerita Timur” karya Marguerite Yourcenar. Rahib yang teguh itu hidup di tebing Sungai Cephise.
Ia tinggal di kalangan para petani yang memuja Yesus tapi juga "tetap bersikeras memuja dewa-dewi penghuni pohon atau yang muncul dari dalam air menggelora". Setiap malam, para petani itu meletakkan sepinggan susu di bawah pohon platan, sebagai persembahan bagi para peri.
Therapion tak menyukai ini. Para peri itu baginya ibarat sekawan serigala betina atau segerombolan pelacur. Mereka lapar dan menggoda.
Tentu, mereka tak memanaskan syahwat sang Rahib, tapi mereka punya dampak lain: akhirnya sang Rahib "tergoda untuk mempertanyakan kearifan Tuhan". Sebab, dengan menciptakan "makhluk-makhluk tak berguna dan mencelakakan", penciptaan seakan-akan hanya "sebuah permainan jahat yang disukai-Nya".
Baca Juga: Kepemimpinan, DNA Pemenang dan Menyadari Potensi Potensi Dari Allah
Sang Rahib pun waswas. Ia bertindak. Ia gergaji pohon platan tempat tinggal para peri. Ia bakar sebuah pohon zaitun tua. Ia basmi pohon cemara muda bersisik.
Para petani tak berani memprotes. Mereka takut berselisih dengan Sang Bapa di surga. Namun, mereka cemas bila para peri akan pergi dan membawa raib sumber air.
Mereka sedih pohon peneduh lapangan tempat mereka menari telah hilang, dan daerah sekeliling desa yang telah dibersihkan itu kian lebar dan kian membisu.
Tapi para petani itu patuh, juga ketika Therapion menyuruh mereka menyumbat gua tempat persembunyian terakhir para peri.
Baca Juga: Rusia Minati Timnas Indonesia Sebagai Lawan Tanding di FIFA Matchday
Syahdan, di depan lubang gua itu kemudian didirikanlah sebuah tempat ibadah. Tapi benarkah Tuhan lebih menyukai sebuah konstruksi yang stabil dan sistematis, ketimbang hidup yang bergejolak dengan gelombang yang tak seragam?