Anick HT: Melongok Minang Melalui Para Penyair
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Minggu, 26 Februari 2023 14:10 WIB
Membaca buku ini, kita seperti ditumpahi dengan kegelisahan demi kegelisahan akibat terkikisnya budaya luhur Ranah Minang.
Tata krama yang menghilang, nilai adat dan agama memudar, sako pusako yang tergadai, rumah gadang yang bolong, krisis literasi negeri pujangga.
Inilah sisi gelap kemajuan zaman. Para penyair ini menangis menjerit melihat gejala perubahan struktur budaya seperti itu. Bagi mereka, eksistensi Minang dan keminangan sedang terancam. Apakah semuanya akan berubah? Ke mana arah perubahan itu?
Gamawan Fauzi dalam pengantarnya memberi nuansa optimistis, bahwa perubahan Minang tetap menyisakan kekhasan dan karakternya. Perubahan itu tak kuning dek kunyik dan tak lamak dek santan.
Menurut Gamawan, ada empat tingkatan adat: adat sabana adat, adat yang teradat, adat yang diadatkan, dan adat istiadat.
Menurutnya, pada tingkat adat sabana adat-lah perubahan itu tak boleh terjadi. Ia berbuhul mati. Dicabuik tak mati, diasak tak layua. Inilah filter terakhir adat. Jika terjadi perubahan pada tingkat ini, hilang pulalah eksistensi Minang.
Pada konteks seperti ini, kegelisahan para penyair dalam buku ini justru menemukan relevansinya. Mereka melihat daya kikis modernisme dan globalisasi telah sedemikian kuat hingga alarm perlu dibunyikan.
Nama-nama besar Ranah Minang seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Hamka, Tan Malaka, perlu dipanggil kembali dan diperkenalkan kepada generasi penerus Minang.