DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Memetik Pelajaran dari Gempa Bumi di Turki dan Suriah untuk Indonesia, Pakar Konstruksi: Sama Saja Problemnya

image
Memetik Pelajaran dari Gempa Bumi di Turki dan Suriah untuk Indonesia, Pakar Konstruksi: Sama Saja Problemnya

ORBITINDONESIA- Korban meninggal akibat gempa bumi yang terjadi di Turki dan Suriah sekurangnya sudah menyentuh angka 24 ribu jiwa. Bagaimana dengan Indonesia, sama saja problemnya.

Dari peristiwa gempa bumi di Turki dan Suriah, setidaknya Indonesia bisa memetik pelajaran itu. Poinnya butuh rencana strategis untuk penguatan bangunan.

Dikutip dari Antara, Pakar Konstruksi dan Struktur yang sekaligus dosen Teknik Sipil UNAND, Dr.Eng.Ir Febrin Anas Ismail, M.T. mengungkapkan bahwa sebagian besar bangunan yang runtuh pada gempa bumi Turki dan Suriah merupakan bangunan yang telah dibangun sejak lama.

Baca Juga: Kisah Lansia 70 Tahun di Turki Akhirnya Selamat Setelah 122 Jam Bergelut dengan Maut Akibat Gempa Bumi

Diperkirakan, bangunan tersebut dulu dibangun tanpa mempertimbangkan ancaman gempa yang mungkin akan terjadi, dan tidak didesain dengan kapasitas beban yang cukup.

“Mungkin karena pada saat itu gempa jarang terjadi, ilmu tentang gempa juga belum begitu berkembang pada saat pembangunannya, peraturannya pun belum, sehingga bangunannya belum sesuai standar terbaru,” jelas Dr. Febrin.

Padahal menurut beliau, konstruksi bangunan harus diawasi secara tegas dengan kontrol melalui regulasi yang ketat, untuk dapat mengurangi potensi kerugian apabila terjadi bencana. 

Baca Juga: Kisah Bayi yang Selamat Setelah 6 Hari Bertahan di Reruntuhan Akibat Gempa di Turki dan Suriah

Di Indonesia sendiri misalnya, peraturan konstruksi bangunan terkait gempa sudah berkali-kali di revisi, dan dalam peraturan terbaru pada tahun 2019.

Standar minimal kapasitas beban pada bangunan yang akan dibangun telah meningkat hingga 4 kali lipat dibanding dengan peraturan sebelumnya pada tahun 2000-an.

Hal ini dilakukan karena kajian-kajian yang berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan kegempaan semakin banyak dan semakin dalam.

Baca Juga: Kisah Pemuda Turki, 94 Jam Bertahan Hidup dengan Minum Air Kencingnya Sendiri Ketika Terjebak Puing Gempa

“Apalagi teknologi sekarang sudah sangat canggih. Bukan hanya konstruksi ke atasnya saja, sudah ada juga teknologi dimana di pondasi itu diberi alat peredam guncangan, sehingga lebih kuat lagi,” tambahnya yang juga merupakan salah satu anggota Majelis Wali Amanat Universitas Andalas.

Tujuan dari regulasi adalah sebagai kontrol konstruksi bangunan dalam menghadapi bencana seperti gempa.

Dr. Febrin menjelaskan bahwa untuk bangunan baru, ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang bisa didapat apabila konstruksi sudah sesuai dengan peraturan dan memenuhi persyaratannya teknis.

Baca Juga: Erick Thohir Kian Populer di Bali, Ini Buktinya

Sementara untuk bangunan-bangunan yang sudah berdiri sejak lama, beliau mengatakan bahwa perlu dilakukan evaluasi, pengecekan, serta penguatan bangunan.

Namun, persoalan meyakinkan masyarakat untuk itu melakukan hal tersebut menjadi tantangan baru yang harus dihadapi.

“Persoalannya bukan cuma teknologi, tapi juga persoalan sosial, yaitu bagaimana meyakinkan warga untuk memperkuat bangunan, yang mana ini terkait dengan biaya," katanya.

"Terlebih apabila gempanya belum terjadi, sehingga mungkin saja menjadi pertanyaan oleh masyarakat, apakah ini benar dan harus dilakukan, sehingga tidak semudah itu."

"Walaupun di negara maju seperti Turki atau di negara berkembang seperti Indonesia, sama saja problemnya,” paparnya.

Ketegasan dari pemerintah dan kesadaran dari masyarakat adalah dua hal yang sangat esensial dalam hal ini.

Sosialisasi perlu dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat sehingga tingkat partisipasi dalam mitigasi gempa meningkat.

Jadi itulah pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa gempa bumi di Turki dan Suriah, setidaknya Indonesia bisa memetik pelajaran itu. Poinnya butuh rencana strategis untuk penguatan bangunan.***

 

 

Berita Terkait