Ini Makna Filosofis di Balik Iket Sunda yang Dipakai Dedi Mulyadi Setiap Hari
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 21 September 2022 22:39 WIB
ORBITINDONESIA - Penampilan mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang kerap menggunakan Iket Sunda di kepalanya menjadi daya tarik tersendiri.
Dengan setia mengenakan Iket Sunda, Dedi Mulyadi berharap budaya nenek moyang dapat dikenal masyarakat serta tidak hilang dimakan zaman.
Meski dikenal luas sebagai salah satu pakaian khas Sunda, namun masih banyak orang tidak mengetahui makna filosofis Iket Sunda seperti yang dipakai Dedi Mulyadi.
Baca Juga: Mengenal Iket Sunda yang Dipakai Dedi Mulyadi serta Jenisnya
Dilansir OrbitIndonesia dari galeri-iket.com, Iket adalah tutup kepala dari kain yang diikatkan melingkar di kepala.
Sebagian iket terbuka bagian atasnya dan sebagian lagi bagian atasnya tertutup tergantung dari cara mengikatkannya.
Dulu warna iket hanya terbatas hitam atau putih tetapi seiring perkembangan zaman, kini warna iket bisa bervariasi, bahkan motif dan corak iket pun terus berkembang.
Baca Juga: Dedi Mulyadi Selalu Pakai Ikat Kepala saat Bantu Warga, Apa Itu?
Istilah iket berasal dari bahasa Sunda yang akrtinya "ikat" atau "ikatan" dikenal juga dengan sebutan totopong.
Di Bali iket dikenal dengan istilah Udeng. Dalam sejarah iket, antara iket Sunda dan udeng Bali terdapat hubungan erat meski mempunyai bentuk dan model berbeda.
Lipatan dan ikatan pada iket mempunya arti dan makna filosofi yang berkaitan erat dengan fungsi pekerjaan seseorang zaman dulu.
Baca Juga: Digugat Cerai Istri, Dedi Mulyadi Unggah Foto Bahagia Bersama Putrinya: Aku Menyayangimu
Itulah kenapa iket menjadi warisan budaya leluhur yang perlu dilestarikan karena mengandung arti yang begitu tinggi.
Bentuk iket yang berbeda bukan melambangkan kasta, kedudukan, atau status sosial di masyarakat tetapi menunjukan fungsi pekerjaan Si Pemakai karena di Tatar Sunda tidak dikenal kasta tetapi sejajar sesuai dengan istilah Padjadjaran (Pajajaran) yang mengandung arti "sejajar" atau "kesejajaran".
Berdasarkan sejarah iket, awal mula bentuk iket atau totopong adalah persegi (segi empat) yang melambangkan dulur opat kalima pancer. "Si eta mah geus masagi" yang menunjukkan seseorang yang sempurna dan menguasai ilmu pengetahuan di bidangnya. Asal kata "masagi" adalah "pasagi" yang dalam bahasa Indonesia artinya Persegi.
Baca Juga: Tak Ikut Bela Juventus Lawan AC Milan Akibat Kartu Merah, Angel Di Maria Ungkap Penyesalan
Sebagian sesepuh mengartikan bentuk segi empat yang terdiri dari empat sudut melambangkan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yakni air, api, udara, dan tanah. Di Tatar Sunda, empat unsur tersebut dikenal dengan istilah "acining hirup" sesuai dengan asal mula kehidupan manusia dari saripati tanah. Sedangkan kalima pancer mengandung arti terpusat atau terpancar kepada Tuhan Pencipta alam semesta.
Dengan demikian dulur opat kalima pancer melambangkan sifta-sifat dasar manusia yang harus seimbang dan harus dimanfaatkan dengan tetap berpedoman kepada aturan Tuhan.
Sebagai contoh, sifat amarah (unsur api) harus seimbang dengan sifat tenang dan sejuk (unsur air). Jadi hal ini sebenarnya erat hubungannya dengan arti keimanan manusia terhadap Tuhannya.
Baca Juga: Menilik Aksi Heroik Dedi Mulyadi Saat Merelai Karyawan dan Ojol Cekcok, Sulit Mendamaikan Pertengkaran
Beberapa budayawan Sunda mengartikan bentuk segi empat dengan empat arah utama mata angin yang selalu dipakai dalam peta dan tataletak nusantayra yakni Utara, Barat, Timur, dan Selatan.
Dari empat arah utama ini muncul turunannya yaitu Tenggara, Barat Daya, Tumur Laut, dan Barat Laut yang semuanya berfungsi sebagai pedoman dan penunjuk arah. Dalam filosofi iket arah di sini adalah arah dan tujuan hidup manusia.
Itulah makna filosofis di balik Iket Sunda yang sering dipakai Dedi Mulyadi.***