Sunardian Wirodono: Moralitas Politikus, Merespon Jusuf Kalla
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 23 Mei 2023 07:40 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Jusuf Kalla mengingatkan, kerusuhan Mei 1998 bisa terulang bila keadilan sosial tak segera terwujud.
Tapi, keadilan sosial bisa segera terwujud bila Jusuf Kalla dan orang-orang sepertinya, bisa disingkirkan paska lengsernya Soeharto 1998 dulu.
Sayangnya, itu tidak terjadi. Mari sejenak kita nengok sejarah politik Jusuf Kalla. Teriakan Mahfud MD, untuk membubarkan Golkar waktu itu, tidak terjadi.
Usai menang dalam Pemilu 1997 (74,51 persen), hanya dalam dua tahun, Golkar pada Pemilu 1999 terjungkal (22,44 persen) dan PDIP jadi juara (33,74 persen, dari semula 3,06 persen, atau 10 kali lipatnya).
Namun hanya butuh 5 tahun, PDIP gantian dikalahkan Golkar pada Pemilu 2004. Golkar juara I (21,57 persen), PDIP di bawahnya (18,53 persen). Pada Pemilu tahun itu pula, dilakukan Pilpres secara langsung oleh rakyat (tahun-tahun sebelumnya presiden dipilih oleh DPR-MPR), dan lagi-lagi PDIP mengalami kekalahan.
Pemenangnya, SBY yang berpasangan cawapres bernama Jusuf Kalla. Jusuf Kalla adalah kader Golkar yang membelot. Jusuf Kalla bergabung dengan Demokrat, karena Golkar waktu itu mencapreskan Wiranto dengan cawapres Salahuddin Wahid.
Menjadi Wapres dari SBY pada 2004-209, Jusuf Kalla yang semula tersingkir dari Golkar, merebut kepemimpinan Golkar. Menolak konvensi partai untuk capres, Jusuf Kalla maju nyapres dari Golkar pada Pilpres 2009.
Cawapresnya Wiranto, yang pada pilpres sebelumnya maju sebagai capres. Pasangan ini kalah dari SBY yang berpasangan dengan Budiono (ekonom, non-partai).
Kalah dari Pilpres 2009, Jusuf Kalla kemudian juga tersingkir dari Golkar. Golkar kembali dikuasai kubu Akbar Tanjung dan Aburizal Bakrie. Dalam hal ini, yang tersingkir (karena dianggap loyalis Jusuf Kalla) termasuk Surya Paloh. Surya kalah bersaing dengan Aburizal, kemudian mendirikan Nasdem.
Dalam Pilpres 2014, ketika Golkar mendukung Prabowo-Hatta Radjasa sebagai capres-cawapres, Jusuf Kalla dengan dukungan Nasdem (partai Surya yang baru pertama kali ikut Pemilu), bergabung dengan PDIP, dengan menjadi cawapres bagi Jokowi.
Padal sebelumnya, ketika Jusuf Kalla mengetahui PDIP akan mencapreskan Jokowi, komentarnya cukup pedas. Akan dibawa ke mana Indonesia, dengan capres ‘seperti’ Jokowi itu? Jusuf Kalla menilai Jokowi tidak pantas sebagai capres. Tidak mempunyai kapasitas.
Namun. Makhluk seperti apa yang bisa mengatakan hal seperti itu, kemudian justeru bersedia menjadi cawapresnya? Kita tak hanya bisa mengatakan demikianlah politik, melainkan betapa menyedihkannya moralitas politikus itu. Kecuali kita sepakat bahwa politik memang kotor, dan tidak bermoral.
Dalam buku otobiografi “Lahir Sebagai Petarung” (2021), Pandan Nababan menceritakan; Ketika mengetahui akan dipasangkan dengan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014, Jokowi menepok jidat. Tanda tak habis mengerti. Di luar perhitungan. Atau setidaknya sudah terbayang ketidakcocokannya.
Tapi berbeda dengan SBY, Jokowi mampu mengunci Jusuf Kalla, dan menyebabkan saudagar politik itu tak banyak berkutik. Termasuk dalam hal itu, dicopotnya Anies Baswedan dan Sudirman Said, dua anggota pertama Jokowi, yang lebih banyak ‘nongkrong’ di tempat Jusuf Kalla.
Jadi kalau kemudian Jusuf Kalla menjadi inisiator dan sponsor utama pencapresan Anies Baswedan, melalui partai Nasdem milik Surya Paloh, tak ada yang istimewa. Dan ketika dia berpidato bahwa kerusuhan Mei 1998 bisa terulang, adalah provokasinya untuk mematangkan skenarionya.
Jusuf Kalla sedang dalam rangka menggalang soliditas barisan bagi yang ingin segera menggantikan Jokowi. Jokowi adalah musuh mereka. Tetapi mereka tahu kekuatan inkumben dalam Pilpres 2019.
Maka investasi JK dengan mendudukkan Anies Baswedan dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, dipanen secara tepat begitu Anies Baswedan selesai menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2022. Jusuf Kalla dan Surya Paloh pun buru-buru segera mendeklarasikan Anies Baswedan melalui Nasdem, ketika masa tugas Jokowi masih 2 tahun lagi.
Pidato politik Jusuf Kalla di milad PKS (20 Mei 2023), hanya menerangjelaskan siapa jati-dirinya. Seorang saudagar-politik yang tak peduli memakai partai politik apapun, untuk perjuangan politiknya.
Bahkan ia pasti juga tak peduli, ketika 18 Oktober 2019 di Gedung Pancasila, Jusuf Kalla mengatakan dalam acara ‘Terimakasih Pak JK” sebagai pidato politiknya yang terakhir. “Pidato saya ini pidato terakhir, ini terakhir betul,…” karena waktu itu konon ia mau pensiun dan momong cucu.
Baca Juga: Konjungsi Bulan Bakal Terlihat di Wilayah Indonesia, Cek Waktu dan Penjelasan Ilmiahnya
Beberapa pernyataan politik mutakhir Jusuf Kalla, hendaknya masjid bukan hanya untuk ibadah. Masjid terbuka untuk kegiatan pendidikan kemasyarakatan (15 Mei 2023).
Di situ pula Jusuf Kalla menyatakan, sebagaimana Anies Baswedan, tidak ada yang salah dengan politik identitas. Hal itu menguatkan pernyataan JK sebelumnya (28 Oktober 2022), beberapa hari setelah deklarasi pencapresan Anies).
Pada bulan April-Mei 2023, Jusuf Kalla juga aktif melakukan lobi-lobi politik. Dengan kecerdikannya, hampir semua politikus yang berambisi mencapreskan dan mencawapreskan diri, sowan pada Jusuf Kalla. Dan tak ada yang menyindirnya, kecuali mereka sowan pada Jokowi.
Jusuf Kalla juga terus memproduksi pernyataan-pernyataan yang mudah disalahtafsirkan, seperti gugatannya pada etnis China, yang minoritas tapi mendominasi perekonomian Indonesia (16 Mei 2023).
Baca Juga: PROFIL LENGKAP Rebecca Klopper, yang Menjadi Trending Twitter karena Video Syur
Dan kemudian yang teranyar; Akan terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998 bila keadilan sosial tidak segera terwujud.
Frasa ‘tidak segera’ dia benturkan dengan kondisi ekonomi nasional berkait dengan kondisi ekonomi global, hal itu menyiratkan impresi seperti apa yang diinginkannya. Bukan keadilan sosialnya yang segera, tetapi kerusuhan seperti Mei 1998 yang di-inisiasi-nya.
Mengutip pendapat Mohamad Sobary mengenai Jusuf Kalla, saudagar politik ini lebih Afganistan daripada orang Afgan. Kita tahu apa maknanya. Dan jika mengutip keahlian kata-kata Anies Baswedan, lawan dalam pilpres adalah teman dalam demokrasi, sedangkan musuh saling menghabisi.
Pernyataan-pernyataan politik Jusuf Kalla bukan lagi sekedar insinuatif (menyindir), melainkan provokatif (menghasut). Dengan begitu, musuh sudah jelas?
(Oleh: Sunardian Wirodono, dikutip dari grup WA FTUI Lintas Angkatan dengan perubahan judul dan editing). ***