Sunardian Wirodono: Moralitas Politikus, Merespon Jusuf Kalla
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Selasa, 23 Mei 2023 07:40 WIB
Kalah dari Pilpres 2009, Jusuf Kalla kemudian juga tersingkir dari Golkar. Golkar kembali dikuasai kubu Akbar Tanjung dan Aburizal Bakrie. Dalam hal ini, yang tersingkir (karena dianggap loyalis Jusuf Kalla) termasuk Surya Paloh. Surya kalah bersaing dengan Aburizal, kemudian mendirikan Nasdem.
Dalam Pilpres 2014, ketika Golkar mendukung Prabowo-Hatta Radjasa sebagai capres-cawapres, Jusuf Kalla dengan dukungan Nasdem (partai Surya yang baru pertama kali ikut Pemilu), bergabung dengan PDIP, dengan menjadi cawapres bagi Jokowi.
Padal sebelumnya, ketika Jusuf Kalla mengetahui PDIP akan mencapreskan Jokowi, komentarnya cukup pedas. Akan dibawa ke mana Indonesia, dengan capres ‘seperti’ Jokowi itu? Jusuf Kalla menilai Jokowi tidak pantas sebagai capres. Tidak mempunyai kapasitas.
Namun. Makhluk seperti apa yang bisa mengatakan hal seperti itu, kemudian justeru bersedia menjadi cawapresnya? Kita tak hanya bisa mengatakan demikianlah politik, melainkan betapa menyedihkannya moralitas politikus itu. Kecuali kita sepakat bahwa politik memang kotor, dan tidak bermoral.
Dalam buku otobiografi “Lahir Sebagai Petarung” (2021), Pandan Nababan menceritakan; Ketika mengetahui akan dipasangkan dengan Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014, Jokowi menepok jidat. Tanda tak habis mengerti. Di luar perhitungan. Atau setidaknya sudah terbayang ketidakcocokannya.
Tapi berbeda dengan SBY, Jokowi mampu mengunci Jusuf Kalla, dan menyebabkan saudagar politik itu tak banyak berkutik. Termasuk dalam hal itu, dicopotnya Anies Baswedan dan Sudirman Said, dua anggota pertama Jokowi, yang lebih banyak ‘nongkrong’ di tempat Jusuf Kalla.
Jadi kalau kemudian Jusuf Kalla menjadi inisiator dan sponsor utama pencapresan Anies Baswedan, melalui partai Nasdem milik Surya Paloh, tak ada yang istimewa. Dan ketika dia berpidato bahwa kerusuhan Mei 1998 bisa terulang, adalah provokasinya untuk mematangkan skenarionya.
Jusuf Kalla sedang dalam rangka menggalang soliditas barisan bagi yang ingin segera menggantikan Jokowi. Jokowi adalah musuh mereka. Tetapi mereka tahu kekuatan inkumben dalam Pilpres 2019.