Konflik Primordial Berdarah di Maluku 1999 Sampai 2002 dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 03 Desember 2022 08:06 WIB
Oleh Dr. Ichsan Malik
ORBITINDONESIA - Setelah membaca secara tuntas puisi esai “Jeritan Setelah Kebebasan” yang ditulis oleh Denny JA, secara umum reaksi tubuh saya adalah: mulut agak terasa pahit, dada terasa agak sesak, dan kepala agak berdenyut-denyut.
Namun pikiran sebagai seorang fasilitator perdamaian yang merasakan langsung peristiwa Maluku sejak tahun 2000-2003, pengamat dari konflik kekerasan di Sampit, peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta, peristiwa Lampung-Balinuraga, dan peritiwa Ahmadyah di NTB, saya segera membayangkan bahwa pada hakikatnya banyak sekali pelajaran-pelajaran penting yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut, untuk menuju Indonesia yang lebih baik.
Sebagai aktivis perdamaian pikiran saya selalu dipenuhi rasa optimistis, bahwa pada awalnya memang masyarakat yang mengalami konflik kekerasan akan mengalami penderitaan, kedukaan, trauma, keinginan untuk balas dendam, emosi yang meledak-ledak.
Baca Juga: Denny JA: Ayo Tuliskan Kesaksianmu, PUBLIKASI atau DILUPAKAN
Namun harus ada upaya-upaya untuk bangkit kembali dari kehancuran. Upaya itu harus dimulai dari korban itu sendiri. Pada situasi inilah saya sepakat dengan satu kata mutiara dari Nietzhce yang menyatakan bahwa “everything that does not kill you, makes you stronger”.
Saya melihat bagaimana korban bangkit dari keterpurukan, menjadikan mereka manusia yang tangguh untuk menghadapi setiap permasalahan.
Berbicara perdamaian pada dasarnya kita berbicara tentang bagaimana membangun masa depan yang aman, tentram, dan adil, setelah mengalami kehancuran dan tercerai berai pada masa lalu ketika terjadi konflik.