Konflik Primordial Berdarah di Maluku 1999 Sampai 2002 dalam Puisi Esai Denny JA
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 03 Desember 2022 08:06 WIB
Saya tidak mentiadakan pemaafan atau keadilan. Tapi kebersamaan dahulu baru kita bicara pemaafan dan keadilan.
Semua uraian tersebut di atas perspektifnya akan kita gunakan untuk menghampiri kasus Konflik Maluku 1999–2002, khususnya pada puisi yang berjudul “Mengapa Saling Bunuh di Maluku”, serta puisi “Ambon Setelah Konflik Reda” yang telah diuraikan pada puisi esai.
Pada puisi “Mengapa Saling Bunuh”, memang betul ditemukan pada kenyataannya bahwa setelah konflik meluas sedemikian rupa maka masyarakat Maluku terbelah total. Semua orang harus memilih menjadi laskar kristus atau menjadi laskar jihad.
Mereka kemudian berperang untuk saling memusnahkan. Pada konflik Maluku juga sangat terkenal sekali peran provokator yang berasal dari luar Maluku. Mereka punya logika yang abnormal, bahwa di Maluku adalah perang agama antara Islam dan Kristen. Sama seperti perang salib yang telah terjadi ribuan tahun lalu.
Islam dan Kristen memang sudah dari sananya saling bunuh-bunuhan dan saling memusnahkan. Logika abnormal bahwa ini adalah perang agama memang telah membuat semua orang gelap mata.
Baca Juga: Denny JA: Dunia Islam Perlu Tafsir yang Pro Keadilan Bagi Perempuan
Semua ingin berpartisipasi untuk berperang. Semua orang ingin menjadi laskar jihad dan laskar kristus, dan siap mati.
Pada puisi “Ambon Setelah Konflik Reda” kita melihat bahwa mereka semua belajar untuk menjadi manusia kembali. Belajar kembali untuk saling kasih mengasihi. Belajar kembali harmonis, saling hormat menghormati meski beda agama seperti sebelum konflik berdarah meledak.
Mereka ingat kembali bahwa ada persaudaraan “pela” antara Islam dan Kristen. Bahkan walaupun mereka terpisah secara agama tetapi mereka adalah “pela gandong” yaitu seperti layaknya saudara sekandung.