Kelas Jalan dan Jembatan Timbang Harus Jadi Perhatian Pemerintah Terkait Zero ODOL
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Jumat, 01 September 2023 14:18 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Perbaikan sejumlah infrastruktur penunjang harus menjadi perhatian pemerintah sebelum menerapkan zero ODOL (Over Dimension Overloaded).
Saat ini, pemerintah bersama stakeholder terkait sedang menyusun roadmap Zero ODOL. Perbaikan sejumlah infrastruktur tersebut diharapkan dapat dimasukkan ke dalam peta jalan Zero ODOL yang tengah disusun itu.
Penerapan Zero ODOL akan percuma tanpa perbaikan infrastruktur penunjang utama, yaitu ketersediaan jembatan timbang atau yang dikenal dengan istilah Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) di semua wilayah.
Baca Juga: Dinilai Berkhianat, Demokrat Tunjukkan Bukti Surat Anies Baswedan Pernah Minta AHY Jadi Cawapres
Selain itu perbaikan kelas kelas jalan juga harus menjadi prioritas pemerintah. Demikian disampaikan oleh Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (INSTRAN) Deddy Herlambang baru-baru ini.
Terkait jembatan timbang persoalan yang ada bukan hanya pada ketersediaan atau jumlah jembatan timbang di berbagai wilayah.
Pemilik barang, pengusaha truk dan supir angkutan barang juga mengeluhkan fasilitas di jembatan timbang yang kurang memadai. Mulai dari lahan parkir yang terbatas hingga tidak adanya gudang penyimpanan barang yang memadai bila barang terpaksa diturunkan akibat kelebihan beban.
"Seharusnya jembatan timbang ada di setiap daerah, mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten-kota. Keberadaan jembatan timbang akan memastikan bahwa truk yang melintas sudah sesuai dengan kapasitas tonase jalan yang tersedia”, tambah Deddy.
Baca Juga: Spoiler Drakor The Uncanny Counter 2 Episode 11, Plot Twist Ma Ju Seok Jadi Final Boss Do Ha Na
Dia melanjutkan, truk logistik akan melintas di kelas jalan yang berbeda-beda setiap mengangkut barang dari satu daerah ke daerah lain.
Pasalnya, sambung dia, tidak mungkin semua jalan yang dilintasi angkutan logistik ditingkatkan hingga ke taraf nasional menyusul otonomi daerah.
Dia mengatakan, fungsi jembatan timbang itu juga sebagai lokasi pungutan pajak bagi pemerintah untuk truk obesitas. Namun, dia menekankan bahwa penegakan hukumnya harus berjalan dengan benar alias tidak ada pungutan liar (pungli) di setiap jembatan timbang.
"Dulu ada, kalau semisal membayar itu bukan membayar sogok, denda-denda itu resmi sebagai pemasukan daerah, tapi sekarang pemasukan pemerintah pusat," katanya.
Baca Juga: Sebelum Dikhianati, Demokrat Cium Aroma Upaya Penundaan Deklarasi Anies dan AHY
Dia melanjutkan, truk yang obesitas nantinya bisa membayar denda setelah diukur dengan jembatan timbang menyesuaikan bobot kelebihan. Denda itu kemudian dapat dipakai oleh pemerintah setempat untuk perbaikan jalan di daerah.
Jembatan timbang sebelumnya berada pada naungan Dinas Perhubungan Provinsi, akan tetapi sekarang UPPKB sudah di ambil alih pengoperasiannya oleh Pemerintah Pusat, sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang dilaksanakan oleh Kementerian Perhubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Dia melanjutkan, pemerintah juga harus memberikan subsidi atau diskon tol kepada angkutan logistik, khususnya pengangkut sembako di samping mengenakan denda terhadap truk ODOL.
Dia mengungkapkan bahwa sopir truk kerap lebih memilih jalan non-tol lantaran lebih murah, meskipun banyak biaya retribusi terhadap kelompok atau ormas tertentu.
Padahal, jalan tol terbilang lebih aman dari oknum tersebut namun mahal di tarif. Dia mengatakan, subsidi tersebut diberikan guna meringankan beban tarif angkutan yang berdampak pada stabilitas harga pangan di masyarakat.
"Jadi tidak ada alasan bagi para penjual (untuk menaikkan harga) karena tarif transport naik 'kan sudah disubsidi, jadi sudah tak ada alasan untuk naik,” katanya.
Di samping itu, Deddy mengatakan bahwa peningkatan kelas jalan juga perlu dilakukan terhadap ruas yang kerap dilalui kendaraan logistik. Namun, sambung dia, hal itu dilakukan berdasarkan permintaan pemerintah setempat ke pemerintah di atasnya.
Dia melanjutkan, peningkatan bisa dilakukan berdasarkan kepentingan nasional. Artinya, apabila jalan tersebut kerap dilalui angkutan logistik nasional maka lebih baik ditingkatkan untuk mengikuti bobot angkutan yang melintas.
Baca Juga: Apa Rahasia Agar Mudah Mengingat Kata Baru Dalam Bahasa Inggris
Dia menjelaskan, ketika spesifikasi kelas jalan nasional dapat menahan bobot 10 ton, maka peningkatan jalan yang dinaikan ke tingkat nasional juga harus memiliki spesifikasi yang sama. Saat itu dilakukan maka tanggung jawab perawatan dan perbaikan jalan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
"Kalau hanya untuk kepentingan industri lokal, mungkin pemerintah nasionalnya juga tidak mau karena pemerintah daerah yang menikmati, tapi tanggung jawabnya di pusat," katanya.
Menurutnya, pemerintah saat ini juga harus fokus pada peningkatan kelas jalan dan bukan bertumpu pada perbaikan jalan. Deddy berpendapat, dana perbaikan jalan sebenarnya dapat diambil dari denda kendaraan obesitas yang terdeteksi di jembatan timbang.
Deddy juga menyinggung angkutan logistik nasional yang masih bertumpu pada jalur darat atau jalan. Menurutnya, hal tersebut terjadi lantaran alternatif angkutan ini terbilang lebih murah dibanding kereta api atau kapal.
Baca Juga: Duh, Wulan Guritno bakal Diperiksa Bareskrim Polri Berkaitan Bisnis Haram di Media Sosial, Kapan
Lagipula, pengusaha melihat logistik lintas jalan lebih efisien dan efektif dibanding kereta dan kapal. Deddy mengatakan, pengusaha dapat mengangkut muatan dari gudang ke gudang atau langsung ke konsumen.
"Angkutan murah, cepat, fungsional, efisien dan efektif itu ya satu truk langsung nyampe, itu door to door service istilahnya," katanya.
Terkait kelas jalan, Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Wimpy Santosa menilai bahwa kendaraan ODOL tidak selalu menjadi penyebab kerusakan jalan. Ketidaksesuaian spesifikasi di lapangan menjadi penyebab kerusakan jalan yang berulangkali terjadi.
Profesor Wimpy mencontohkan, salah satunya adalah penggunaan aspal hotmix yang tidak sesuai spek karena pemanasan yang terlalu tinggi, sehingga akan mengubah karakteristik aspal. Artinya, aspal itu tidak sesuai lagi digunakan untuk standar pembuatan jalan sehingga menjadi lebih cepat rusak.
Baca Juga: Sanksi Tilang Uji Emisi Mulai Berlaku, Ini Besaran Denda dan Syarat agar Lolos Cegatan Polisi
Selain itu, air juga menjadi musuh utama jalan sering rusak. Dia mengatakan, desain pembuatan jalan dilakukan tidak secara utuh dan tidak memiliki drainase.
Dia menjelaskan, dana pembuatan drainase di Indonesia kerap tidak turun berbarengan dengan konsturksi jalan. Kondisi itu membuat jalan tergenang air dan saat anggaran drainase tersedia dan ingin dibuat maka jalannya sudah rusak.
"Selalu berputar pada lingkaran setan seperti itu. Ini fakta-fakta di lapangan," katanya.***