Syaefudin Simon: Rian Mahendra
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 07 Januari 2023 13:10 WIB
BTC dalam dunia kripto, identik dengan USD, mata uang standar global. Bila harga BTC naik (pernah mencapai 60 ribu USD paruh tahun 2021 lalu), hampir semua koin digital naik.
Termasuk koin meme semacam Dogecoin. Sebaliknya, bila ada platform besar bangkrut seperti kasus FTX, BTC pun ikut jatuh. Penyebabnya karena kredibilitas CTC tergerus.
Yang jadi soal, valuasi uang kripto saat ini tergantung pada kemauan "paus-paus" atau bandar-bandar raksasa pemegang koin digital. Terutama BTC.
Baca Juga: SIRCLO: Siap Hadapi Tantangan Ekonomi 2023, Intip 4 Jurus Jitu Perkuat Strategi Bisnis
Hingga saat ini, pinjam istilah Warren Buffett (WB), pemilik perusahaan investasi terbesar dunia Berkshire Hathaway, AS -- uang kripto underlyingnya adalah angin. Berbeda dengan valuta asing yg underlyingnya jelas: kekayaan dan kredibilitas negara terkait.
Kripto? Tak ada. Kecuali kredibilitas orang perorang yang memegang uang digital dalam jumlah raksasa.
Makanya, jika "Paus" Elon Musk ingin menaikkan harga uang digital yang dipegangnya, ia cukup bilang -- Tesla bisa dibeli dengan BTC. Sontak harga BTC naik. Elon pun menjual BTC miliknya. Jelas untung besar.
Mirisnya, dalam trading kripto, permainan paus-paus yang sangat menentukan harga koin itu merugikan ratusan ribu trader imut di seluruh dunia.
Celakanya lagi, permainan harga di bisnis kripto ini sulit dicegah. Dan naifnya, hal itu secara bisnis dan hukum, tak bisa disalahkan. Pinjam istilah pelawak Asmuni Sri Mulat, orang kaya tak pernah salah!
Dalam kasus Sam, saat itu "paus-paus kripto" sedang butuh likuiditas. Mereka pun menjual koin yang diholdnya. Termasuk paus Elon.