Ketika Santan Mengalahkan Susu: Kudeta Kopi ala Luckin Coffee yang Membuat Starbucks Gugup

Catatan Agus M. Maksum

ORBITINDONESIA.COM - Kadang sejarah bukan digerakkan oleh teknologi tersophisticated, bukan pula oleh raksasa yang punya kantor di Seattle. Kadang ia digerakkan oleh sesuatu yang jauh lebih sederhana. Santan kelapa.

Ya, santan kelapa—yang selama ini kita kira cuma bahan opor, lontong sayur, dan kolak Lebaran—tiba-tiba berubah menjadi amunisi paling ganas dalam perang kopi modern.

Dan pelurunya ditembakkan oleh Luckin Coffee, sebuah brand Tiongkok yang dulu kita kira sudah mati karena skandal keuangan. Ternyata tidak.

Dia hanya jatuh. Lalu bangkit—lebih cepat dari bayi belajar jalan. Luckin yang dulu dipukul Nasdaq, kini memukul balik dunia. Starbucks kaget. Bahkan mungkin tersinggung.

Selama puluhan tahun ia mengajarkan dunia bahwa kopi harus beraroma Italia, diseduh hangat oleh barista yang tersenyum, dan ditemani musik jazz.

Lalu datang Luckin. Tanpa barista. Tanpa jazz. Tanpa senyum. Hanya aplikasi. Dan santan. Coconut Latte itulah namanya.

Minuman yang terasa seperti liburan tiga detik ke pantai tropis, tapi dijual di kota-kota berudara dingin di China. Luckin menyebutnya “inovasi.” Konsumen menyebutnya “nagih.” Petani kelapa Indonesia menyebutnya “rezeki nomplok.”

Harga kelapa melonjak. Pasar lokal sampai megap-megap. Tapi ekspor ke China tidak bisa ditahan—karena di sana jutaan orang sedang jatuh cinta pada kopi rasa tropis yang tidak mereka punya pohonnya. Punya kita.

Tahun 2023, Starbucks resmi kalah di China. Kalah penjualan. Kalah jumlah toko. Kalah momentum.

Yang lebih menyakitkan bagi Starbucks:

Mereka kalah bukan oleh espresso baru, bukan oleh manual brew ala Nordic, bukan oleh biji kopi geisha Panama yang mahalnya gila.

Mereka kalah oleh santan. Produk yang bahkan tidak pernah mereka anggap “kelas kopi.” Di tangan Luckin, santan berubah menjadi senjata disruptif.

Kombinasi yang tidak pernah terpikirkan oleh raksasa Barat—tapi justru terasa paling natural bagi negara tropis seperti Indonesia.

Ironinya: China memimpin inovasi. Indonesia memasok kelapa. Starbucks tercekat di tengah.

Di Banggai, Sulawesi Tengah, kelapa-kelapa itu jatuh bergantian seperti suara tepuk tangan alam. Setiap butirnya adalah tiket penerbangan menuju gelas-gelas Luckin di Beijing, Shanghai, sampai New York.

Siapa sangka? Bahwa ekonomi global bisa berubah hanya karena seseorang di Luckin bertanya:

“Bagaimana kalau susu diganti santan?” Sebatang pohon kelapa yang berbuah sepanjang tahun kini berdiri sejajar dengan mesin espresso paling canggih.

Dan untuk pertama kalinya, kemenangan dalam perang kopi dunia tidak datang dari Barat, melainkan dari racikan tropis yang aromanya akrab bagi kita sejak kecil.

Kudeta kopi sudah terjadi. Dan pelurunya benar-benar berasal dari pohon kelapa di halaman kita sendiri. ***