Catatan Denny JA: Ketika Luka Indonesia Menjadi Bahasa Dunia
Festival Puisi Esai Jakarta 2025 (Bagian 1)
KETIKA LUKA INDONESIA MENJADI BAHASA DUNIA
- Puisi Esai 63 Penulis Diterjemahkan Ke Dalam 6 Bahasa: Inggris, Prancis, Spanyol, Mandarin, Arab dan Rusia
Oleh Denny JA
ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah apartemen kecil di pinggiran Beijing, seorang lelaki tua bernama Zhao membuka buku tipis berisi puisi-puisi esai yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.
Ia membaca perlahan. Tanpa ia duga, halaman itu mempertemukannya dengan kisah yang tak pernah ia bayangkan berasal dari Indonesia.
Judulnya:
“Perempuan Itu Mati Ditagih Pinjol”
Karya Nia Samsihono.
Zhao tidak tahu apa itu “pinjol.” Ia tak mengenal istilah yang menjadi momok di Asia Tenggara: utang digital, bunga mencekik, teror pesan, ancaman yang datang seperti badai dari telepon genggam.
Namun ketika ia membaca bait itu, bait tentang seorang ibu muda yang bekerja siang malam, yang hanya ingin memberi makan anaknya, yang meminjam uang kecil tetapi kemudian dikejar oleh ratusan pesan ancaman, yang akhirnya ditemukan tergeletak dengan tubuh yang tak lagi kuat menahan rasa malu dan tekanan.
Zhao menutup bukunya.
Ia menarik napas panjang.
Tak perlu mengenal Indonesia untuk mengerti apa itu putus asa.
Tak perlu mengerti sistem finansial digital untuk memahami rasa takut seorang perempuan saat hidupnya dikepung oleh hutang yang membesar lebih cepat dari nafasnya sendiri.
Di Moskow, seorang penyair Rusia membaca versi Cyrillic-nya.
Di Madrid, seorang guru sosial mengajarkannya dalam bahasa Spanyol.
Di Kairo, seorang perempuan muda berhenti membaca versi Arabnya dan menatap kosong jendela.
Di Paris dan London, mahasiswa-mahasiswa dalam kelas sastra dunia berdiskusi dalam bahasa Perancis dan Inggris tentang bagaimana dunia digital bisa membunuh seseorang tanpa menyentuh tubuhnya.
Kisah yang lahir dari tanah Indonesia ini, kisah tentang seorang perempuan yang mati bukan karena perang, bukan karena bencana, tetapi karena hutang digital dan tekanan sosial, tiba-tiba menjadi kisah dunia.
Itulah kekuatan puisi esai:
ia membuat luka lokal menjadi luka universal;
ia membuat seorang ibu Indonesia menjadi simbol dari semua perempuan di dunia yang hidup dalam tekanan ekonomi modern.
Tahun ini, 2025, kisah-kisah seperti ini, 63 karya lengkap—diterjemahkan ke dalam enam bahasa besar dunia: Inggris, Perancis, Spanyol, Mandarin, Arab, dan Rusia.
Ilustrasi di atas hanyalah imajinasi jika puisi esai yang menyentuh diterjemahkan dan dibaca penduduk dunia lain.
-000-
Festival Puisi Esai Jakarta kini memasuki gelaran ke-3.
Tahun lalu, 2024, kita mengadakan panggung tatap muka di Taman Ismail Marzuki—sebuah perayaan budaya yang hangat dan penuh energi.
Namun sesuai tradisi baru, tatap muka seperti itu diadakan tiga tahun sekali:
2024 → 2027 → 2030 → 2033 → dan seterusnya.
Di antara festival akbar itu, Festival Tahunan tetap hadir dengan bentuk yang adaptif, kreatif, dan mengikuti denyut zaman.
Tahun 2025, salah satu langkah monumental adalah menerbitkan 63 puisi esai dalam enam bahasa internasional,
agar suara Indonesia dapat berdialog dengan dunia.
-000-
Tiga Alasan Mengapa Terjemahan 6 Bahasa Ini Penting
1. Karena Luka Ekonomi Adalah Drama Manusia Paling Universal
Utang, tekanan sosial, keputusasaan, dan rasa malu adalah bahasa yang dimengerti semua bangsa.
Ketika pembaca di Beijing, Madrid, atau Kairo membaca kisah perempuan Indonesia yang mati karena ditagih pinjol, mereka tidak membaca “kisah negara asing.”
Mereka membaca dirinya sendiri:
ibunya, saudarinya, temannya, atau bahkan ketakutan yang mereka sembunyikan.
Puisi esai menjadi cermin global.
2. Karena Puisi Esai Menjadi Arsip Zaman dalam Bentuk yang Paling Jujur
Dalam Kesaksian Zaman, sebagaimana dicatat penyunting (hal. XX–XXII), puisi esai memotret:
• penindasan ekonomi,
• ketidakadilan digital,
• kekerasan tersembunyi,
• dan kesunyian para korban.
Statistik sering menipu.
Berita sering menguap.
Namun puisi esai menyimpan rasa, dan rasa tak bisa dimanipulasi.
Dengan diterjemahkan ke enam bahasa, arsip batin ini menjadi milik dunia.
-000-
3. Karena Indonesia Punya Suara yang Layak Mendunia
Dunia telah terlalu lama diceritakan oleh Barat.
Kini Indonesia berkata:
“Kami juga punya kisah.
Kami juga punya luka.
Kami juga punya suara.”
Terjemahan ini adalah diplomasi budaya yang halus namun tegas:
bahwa Indonesia bukan hanya pasar global, tetapi produsen empati global.
-000-
Ketika seorang lelaki tua di Beijing membaca nasib seorang ibu Indonesia,
ketika seorang perempuan di Kairo memahami ketakutan yang sama,
ketika seorang mahasiswa Rusia merasakan getir yang tak pernah ia bayangkan—
maka batas negara pun runtuh.
Festival Puisi Esai 2025 tidak hanya menerjemahkan kata-kata.
Ia menerjemahkan rasa takut, kesedihan, dan keberanian manusia modern.
Dari Jakarta ke Shanghai.
Dari desa kecil di Jawa ke Moskow.
Dari luka menjadi bahasa.
Dari bahasa menjadi jembatan.
Dan selama manusia masih membaca,
suara perempuan yang mati ditagih pinjol itu tidak akan pernah padam.*
Jakarta, 20 November 2025
REFERENSI
(1) Kesaksian Zaman: Kumpulan 65 Puisi Esai, Dhenok Kristianti; CBI, 2024
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/p/1FH3EGNdYV/?mibextid=wwXIfr