Supriyanto Martosuwito: Antara Ijazah dan Reputasi
Oleh Supriyanto Martosuwito, wartawan senior
ORBITINDONESIA.COM - Ada dua panggung tempat Jokowi tampil - dan jadi sorotan, akhir-akhir ini. Panggung pertama ada di Indonesia, tempat sebagian publik sibuk menjerit soal ijazah hilang, ijazah palsu, atau ijazah yang katanya disembunyikan seperti naskah pusaka. Panggung kedua ada di dunia internasional — lebih tepatnya di forum ekonomi Bloomberg di Singapura — tempat Jokowi diundang bukan sebagai objek gosip, melainkan sebagai figur yang dianggap mampu menjelaskan arah ekonomi kawasan.
Ironinya begitu sempurna: di dalam negeri, Jokowi diperlakukan seperti mahasiswa yang belum mengumpulkan tugas akhir; di luar negeri dia diperlakukan sebagai tamu kehormatan, kepala negara yang menentukan dinamika investasi Asia.
Dan, tentu saja, tidak ada yang lebih “Indonesia” daripada menganggap forum kelas dunia itu sebagai sekadar panggung formalitas, sembari memperlakukan desakan menunjukkan ijazah sebagai persoalan kenegaraan.
Dunia boleh bicara stabilitas fiskal dan hilirisasi nikel, tapi sebagian warga Indonesia lebih penasaran soal nilai rapor kelas tiga SMP. Mungkin jika Bloomberg ingin benar-benar dihormati di sini, mereka harus menanyakannya juga: “Pak Presiden, itu ijazahnya dibawa atau tidak?”
Mengapa Bloomberg memilih Jokowi? Mengapa bukan SBY yang tutur katanya lebih diplomatis? Atau PM Jepang yang lebih berpengalaman? Atau presiden Korea Selatan yang lebih fasih bicara geopolitik? Jawabannya sederhana: Bloomberg tidak menilai kemampuan pidato, tidak menilai intensitas senyum, dan jelas tidak menilai ijazah. Mereka menilai hal yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin terlalu rumit—angka.
Ya, angka: pertumbuhan ekonomi, stabilitas, investasi, dan keberhasilan Indonesia menjaga diri tetap relevan ketika banyak negara lain sedang tersandung.
Indonesia di bawah Jokowi terlihat menarik di mata global bukan karena presiden kita puitis atau filosofis. Justru karena ia tidak seperti itu. Jokowi lebih mirip mandor proyek yang terjebak memimpin negara, dan dunia usaha menyukai tipe ini: pragmatis, bisa diajak bicara, dan tidak membuang waktu pada retorika.
Ingat ketika dalam salah satu pidatonya Jokowi menyatakan :
"We walk the talk, not only the talk"?
Di sini di negeri sendiri, frasa itu jadi olok olok para penyinyir, karena aksen Jawanya. Tapi dunia justru menyoroti bukti nyata dari kata kata itu.
Dunia menghargai pemimpin yang bisa menghitung logistik, bukan yang sibuk mengurusi logika debat warung kopi dan "kem-Inggris-an" : sok paling paham "pronunciation".
Pada hari ini, di Indonesia, performa pemimpin tampaknya diukur dari seberapa cepat ia mengeluarkan dokumen pendidikan - mengabaikan investasi ratusan triliun, infrastruktur yang naik besar-besaran, dan posisi strategis di G20 - hanya demi memuaskan ego dan rasa ingin tahu tentang sehelai kertas yang “katanya” tidak ditunjukkan.
Dunia mungkin tertawa jika tahu: “di negara Anda, presiden harus menunjukkan ijazah untuk dianggap sah?” Kita mungkin menjawab: “Betul. Bahkan kalau bisa, minta transkrip nilai sekalian.”
Bloomberg tidak sedang memilih siapa figur yang paling fasih dalam berbahasa Inggris dengan gaya bahasa tertata seperti SBY. Mereka memilih siapa yang paling mempengaruhi peta ekonomi Asia saat ini. Dan, suka atau tidak, itu Jokowi. Ia mungkin tidak mengutip teori, tidak memamerkan gelar, dan tidak berpidato panjang, tetapi justru di situlah letak daya tariknya di mata dunia bisnis: jelas, ringkas, dan tidak membuang waktu. Ia presiden kita yang lebih suka membuka pabrik daripada membuka perdebatan.
Kontras ini semakin menyedihkan ketika disadari: bangsa lain sibuk memikirkan masa depan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi Asia; sementara sebagian bangsa ini sibuk mengurusi masa lalu presidennya. Dunia bertanya, “apa strategi energi Anda?” Indonesia bertanya, “jadi ijazah sarjana itu ada di mana?”
Bahkan, jika isunya berlanjut tak lama lagi pepatah lama bertambah - bukan hanya : "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya" melainkan juga "Bangsa yang besar adalah bangsa yang gigih menagih ijasah presidennya! "
Barangkali itulah tragedi kita: terlalu sering mengecilkan pemimpin karena hal-hal remeh, terlalu sering mengabaikan hal-hal besar yang dunia internasional lihat.
Jokowi di panggung internasional mendapat penghormatan karena kinerja; di panggung domestik ia dihujani keraguan karena kertas. Dunia menilai hasil, kita menilai gosip.
Dan pada akhirnya, inilah kesimpulan paling sarkastik: di Indonesia, untuk dihormati, Jokowi harus menunjukkan ijazahnya.
Di dunia internasional, untuk dihormati, ia cukup menunjukkan pencapaian kepemimpinanya. Reputasinya. ***