Syaefudin Simon: Nobel untuk Para Penemu Logam Organik
Oleh Syaefudin Simon, alumnus FMIPA Kimia UGM
ORBITINDONESIA.COM - Tahun ini, Komite Nobel kembali membuat dunia sains tersenyum. Tiga ilmuwan — Susumu Kitagawa (Jepang), Richard Robson (Australia), dan Omar M. Yaghi (Amerika Serikat) — dianugerahi Hadiah Nobel Kimia 2025 karena penemuan mereka tentang metal–organic frameworks atau kerangka logam-organik (MOF).
Bagi kebanyakan orang, istilah ini terdengar rumit. Tapi jika kita sederhanakan, logam-organik adalah spons super kecil — terbuat dari logam dan molekul karbon — yang mampu menyerap, menyaring, dan menyimpan gas atau cairan dalam jumlah sangat besar di ruang yang amat kecil. Di balik istilah ilmiahnya, MOF adalah teknologi masa depan yang mungkin akan membantu kita mengatasi krisis iklim.
Kisahnya dimulai akhir 1980-an ketika Richard Robson bereksperimen dengan menghubungkan ion logam dan molekul organik menjadi jaringan kristal. Kala itu, idenya terdengar sederhana — tapi konsep inilah yang kelak menjadi fondasi kerangka logam-organik.
Pada 1990-an, Omar Yaghi, ilmuwan keturunan Yaman yang bekerja di Amerika Serikat, mengembangkan ide ini secara sistematis. Ia menciptakan cabang ilmu baru yang disebut reticular chemistry, yaitu cara membangun struktur kristal dari “unit bangunan molekuler” seperti menyusun Lego atom demi atom. Karya Yaghi yang paling terkenal adalah MOF-5 (1999), material dengan pori-pori begitu luas hingga luas permukaannya bisa setara dengan lapangan sepak bola — padahal ukuran fisiknya hanya sebesar gula batu!
Sementara itu, Susumu Kitagawa dari Jepang menambahkan satu lapisan penting: kemampuan MOF untuk “bernapas”. Ia menciptakan material yang porinya bisa terbuka atau menutup tergantung pada kondisi sekitar. Dengan kata lain, logam-organik bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan — sebuah inovasi yang membuatnya berguna untuk sensor, pemisahan gas, hingga penyerapan polutan.
Ketiganya, meski bekerja terpisah, melengkapi satu sama lain: Robson membangun fondasi, Yaghi menemukan prinsip desainnya, dan Kitagawa memberikan fungsi dinamisnya. Inilah alasan mereka berbagi Nobel — karena bersama-sama, mereka mengubah kimia material menjadi sesuatu yang bisa dirancang sesuai kebutuhan manusia.
Kenapa Logam-Organik Begitu Penting?
Sains modern sedang berhadapan dengan tiga krisis besar: iklim, air, dan energi. Di sinilah peran MOF menjadi relevan.
Pertama, menangkap karbon dioksida (CO₂). Banyak MOF mampu menyerap gas rumah kaca ini bahkan pada kadar rendah di udara. Bayangkan jika teknologi ini bisa dipasang di cerobong pabrik atau bahkan di udara terbuka, ia bisa “menyedot” karbon dari atmosfer — salah satu langkah konkret melawan pemanasan global.
Kedua, memanen air dari udara kering. Beberapa MOF yang higroskopis bisa menarik uap air pada malam hari dan melepaskannya saat matahari terbit. Dengan cara ini, satu kilogram MOF dapat menghasilkan beberapa liter air bersih setiap hari, bahkan di gurun. Prototipe alat semacam ini sudah diuji di California dan Uni Emirat Arab.
Ketiga, membersihkan limbah dan air tercemar. Beberapa jenis MOF bisa menyerap zat beracun, termasuk logam berat atau senyawa kimia berbahaya seperti PFAS — zat yang dikenal sebagai “forever chemicals” karena sulit diurai. Dengan demikian, logam-organik bisa menjadi senjata baru dalam perang melawan polusi air.
Selain itu, MOF juga berpotensi menyimpan hidrogen untuk kendaraan masa depan, menyaring gas industri, bahkan membantu proses produksi obat-obatan lebih ramah lingkungan. Singkatnya, material ini adalah Swiss Army Knife-nya dunia kimia.
Namun, seperti semua teknologi baru, MOF bukan tanpa masalah. Produksinya masih mahal dan rumit. Sebagian besar dibuat dengan pelarut kimia berbiaya tinggi dan memerlukan kondisi laboratorium yang presisi. Selain itu, beberapa MOF kurang stabil terhadap kelembapan, sehingga sulit digunakan di kondisi lingkungan nyata.
Tantangan berikutnya adalah skala industri. Membuat satu gram MOF di laboratorium mudah, tapi membuat satu ton dengan kualitas sama adalah hal lain. Diperlukan inovasi baru dalam sintesis berkelanjutan dan sistem produksi massal yang hemat energi.
Meski begitu, dunia industri mulai meliriknya. Perusahaan-perusahaan startup sudah muncul di Eropa dan Asia yang mencoba mengkomersialisasi MOF untuk penyimpanan gas dan penyerapan karbon. Pemerintah Amerika bahkan memasukkan riset MOF dalam strategi energi bersih nasionalnya.
Peluang untuk Indonesia
Indonesia juga seharusnya tidak hanya menjadi penonton. Negara ini menghadapi dua persoalan besar: pencemaran air dan emisi karbon. Dengan kekayaan mineral logam dan sumber daya alam, Indonesia bisa menjadi pemain penting dalam riset material baru seperti MOF.
Universitas dan lembaga riset bisa menjalin kolaborasi dengan institusi global untuk mengembangkan MOF berbasis logam lokal seperti nikel atau tembaga — sekaligus menyiapkan solusi air bersih di daerah kering atau pulau terpencil. Jika dikembangkan dengan tepat, riset MOF bisa menjadi salah satu pilar ekonomi hijau masa depan.
Hadiah Nobel tahun ini menunjukkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar penghargaan ilmiah. Ia mengingatkan kita bahwa sains bukan hanya tentang laboratorium, tetapi tentang kepedulian terhadap kehidupan.
MOF mungkin lahir dari eksperimen kimia, tetapi dampaknya bisa terasa hingga dapur rumah tangga — ketika suatu hari alat kecil di sudut rumah bisa menyaring udara, memanen air, atau menyimpan energi bersih.
Susumu Kitagawa, salah satu peraih Nobel, pernah berkata dalam wawancaranya: “Ilmu kimia bukan hanya untuk membuat senyawa baru, tapi untuk membuat hidup manusia lebih baik.”
Dan itulah esensi dari penghargaan Nobel Kimia 2025. Ia bukan sekadar pengakuan atas kecerdasan tiga ilmuwan, tetapi sebuah pesan bahwa masa depan dunia bisa berubah hanya dengan satu hal kecil — molekul yang diatur dengan cerdas.***