Denny JA Mengenang Dwianto: Tentang Imajinasi dan Anak-anak yang Tetap Berlari di Dalam Diri Kita

Mengenang Dwianto: TENTANG IMAJINASI DAN ANAK-ANAK YANG TETAP BERLARI DI DALAM DIRI KITA

- Sebuah Kata Pengantar

Oleh Denny JA

Ada buku-buku tertentu yang tidak hanya dibaca, tetapi ditinggali.

Halaman-halamannya menjadi ruang tempat kita pernah menjadi anak kecil:

menyelinap ke semak penuh misteri, memecahkan sandi bersama sahabat imajiner, dan percaya bahwa dunia selalu menyimpan sebuah pintu menuju petualangan.

Martinus Dwianto Setyawan, atau Dwianto, adalah pencipta pintu itu bagi anak-anak Indonesia. Ia menyalakan semesta yang akrab, lokal, sekaligus luas seperti cakrawala yang tak pernah selesai dipandang.

Buku Mengenang Dwianto bukan sekadar obituari.

Ia adalah ikhtiar kolektif merajut kembali cahaya yang pernah ia tinggalkan. Ini cahaya yang diam-diam membentuk generasi pembaca muda di negeri ini.

-000-

Dwianto, kelahiran Batu (1949–2024), pendiri DS Studio dan kreator Sersan Grung-Grung serta Sandi, memilih menjadi penjaga imajinasi Nusantara.

Ketika komik impor membanjiri rak-rak toko buku, ia kembali ke kampung halaman, ke bahasa yang tumbuh dari tanah sendiri, dan ke kecerdasan lokal yang tak pernah kehilangan humor maupun harapan.

Buku ini mempertemukan penyair, kolumnis, dan pembaca yang menyimpan kenangan personal atas karya-karyanya.

Ia bukan sebuah biografi tunggal, melainkan mozaik emosional yang menyingkapkan Dwianto melalui banyak pantulan cahaya.

Apa yang tersimpan dalam Buku Ini?

Yang pertama adalah potret pribadi Dwianto: bagaimana ia membangun DS Studio dengan keyakinan sederhana namun kuat: bahwa anak Indonesia pantas membaca dunia mereka sendiri.

Dari keyakinan itu lahir lebih dari delapan puluh buku petualangan lokal, masing-masing membawa aroma kampung dan keberanian kecil yang jujur.

Bagian berikutnya menyingkap gagasan kepenulisannya: petualangan yang lahir dari tanah sendiri namun bernilai universal.

Ia memperlakukan anak bukan sebagai objek pendidikan, melainkan sebagai subjek cerdas yang menafsir dunia dengan mata yang bening.

Sinergi ilustrasi dan narasi menjadi ciri khas DS Studio: perpaduan yang membuat cerita terasa hidup dan dekat.

Di dalamnya juga tertanam warisan yang lebih dalam: Dwianto menjadi penjaga kreativitas anak Indonesia pada masa ketika imajinasi sering dianggap pelengkap, bukan kebutuhan.

Dan yang paling personal adalah kenangan para pembacanya: rumah masa kecil, pekarangan yang luas, bau buku yang menguar dari rak kayu.

Cerita-cerita Dwianto tidak hanya dibaca; ia menetap sebagai bagian dari dunia batin.

-000-

Sastri Bakry, penyair yang telah menjejak banyak kota dunia, menulis tentang kebahagiaan kecil yang kembali hidup ketika membuka halaman buku Dwianto.

Baginya, sastra anak bukan hiburan, melainkan fondasi kreativitas dan kemanusiaan.

Akaha Taufan Aminudin, Ketua SATUPENA Jawa Timur, menjadi penggerak utama pengumpulan tulisan yang akhirnya membentuk buku ini.

Kontributor lain seperti Salma Nur Fauziyah, Abdul Malik KT, dan Cep Subhan KM menghadirkan kesaksian yang jernih dan hidup. Masing- masing menghidupkan kembali jejak Dwianto dari sudut pandang yang berbeda.

Tulisan Sastri Bakry membuka kembali mata seorang pembaca kecil yang pernah menemukan dunianya melalui karya Dwianto.

Ia menegaskan bahwa cerita adalah fondasi nilai dan empati, tulang punggung halus yang membentuk karakter tanpa disadari.

Ada pula tulisan tentang rumah di Jalan A. Yani, Padang: kenangan tentang aula drama, pekarangan luas, dan bau buku-buku Dwianto yang seakan tetap menyala.

Memori dipulihkan bukan sebagai nostalgia belaka, tetapi sebagai pengalaman sensorik yang kembali bernyawa.

Yang lain mengurai gaya dan spirit karya Dwianto: petualangan lokal yang universal, penghormatan terhadap kecerdasan anak, dan kolaborasi gambar-kata yang sering kali menyampaikan makna lebih dalam daripada paragraf panjang.

Dari sinilah tampak bahwa sastra anak yang baik adalah arsitektur pendidikan emosi sekaligus logika.

-000-

Membaca Dwianto, saya teringat seorang penulis cerita anak dari belahan dunia lain.

Namanya Tove Jansson (1914–2001) dari Finlandia. Ia pencipta Moomin, yang juga membangun dunia berakar dari visual dan pengalaman hidup yang getir.

Trauma Perang Dunia II melahirkan The Moomins and the Great Flood (1945), lalu Finn Family Moomintroll (1948): kisah lembut tentang keluarga, sihir, humor, dan keberanian menghadapi perubahan.

Seperti Dwianto, Jansson memulai dari gambar.

Ia membangun dunia lokal yang menjelma universal, menghadirkan moralitas tanpa ceramah, dan menempatkan anak sebagai subjek cerdas yang membaca kehidupan dengan kejernihan yang kadang melebihi orang dewasa.

Keduanya mengingatkan kita bahwa petualangan kecil dapat memikul kebijaksanaan besar.

-000-

Di sepanjang hidup, ada halaman yang tidak pernah benar-benar kita tutup.

Ketika kita kembali membaca buku-buku masa kecil, ada anak yang bangkit dalam diri kita: berlari, bertanya, dan percaya bahwa dunia masih bisa diterangi oleh imajinasi.

Mengenang Dwianto adalah upaya merawat ruang itu: ruang tempat cerita-cerita kecil menjadi jangkar bagi nilai, rasa ingin tahu, dan keberanian.

Dwianto membuktikan bahwa satu cerita dapat menjadi rumah, satu ilustrasi dapat menjadi cahaya, dan satu pengarang dapat menyalakan generasi.

Dan mungkin, di tengah dunia yang keras dan bergerak cepat, kita semua masih mencari pintu kecil itu: pintu menuju tempat di mana imajinasi masa kanak- kanak membuat kita merasa pulang.*

Jakarta, 18 November 2025

Referensi

1. Finn Family Moomintroll – Tove Jansson (Schildts, 1948).

2. The Velveteen Rabbit – Margery Williams (Heinemann, 1922).

-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

https://www.facebook.com/share/p/1Gxoq7keFM/?mibextid=wwXIfr